Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa..
(Takut 66, Takut 98- Taufiq Ismail)
Puisi di atas menggambarkan peristiwa besar
yang terjadi pada tahun 1966 dan 1998. Saat itu terjadilah peristiwa besar di
mana rezim kekuasaan berhasil ditumbangkan oleh pergerakan mahasiswa. Jika kita
lihat, mahasiswa takut dengan dosen dan dosen takut kepada dekan karena sebuah
jabatan yang lebih tinggi. Namun mengapa pada akhirnya presiden justru takut
kepada mahasiswa ? Karena memang, posisi mahasiswa sebagai tonggak pergerakan
negeri ini memberi pengaruh besar di masa depan.
yang terjadi pada tahun 1966 dan 1998. Saat itu terjadilah peristiwa besar di
mana rezim kekuasaan berhasil ditumbangkan oleh pergerakan mahasiswa. Jika kita
lihat, mahasiswa takut dengan dosen dan dosen takut kepada dekan karena sebuah
jabatan yang lebih tinggi. Namun mengapa pada akhirnya presiden justru takut
kepada mahasiswa ? Karena memang, posisi mahasiswa sebagai tonggak pergerakan
negeri ini memberi pengaruh besar di masa depan.
Berbicara tentang pergerakan mahasiswa, tidak akan
lepas dengan kabar yang berkembang perihal politik. Indonesia yang pada tahun
ini mempunyai hajatan besar pemilihan umum dihadapkan pada ujian hadirnya
partai politik (parpol) masuk kampus. Sebagai lembaga pendidikan yang membentuk
pribadi warga negara jelas melarang adanya parpol di tengah kehidupan kampus.
Pendapat ini bukan tanpa landasan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
pasal 86 ayat 1 menyatakan adanya pelarangan bentuk kampanye menggunakan fasilitas
pemerintah, tempat ibadah,
dan tempat pendidikan. Jelas, dalam hal ini kampus sebagai lembaga
pendidikan harus netral dari unsur kampanye parpol.
lepas dengan kabar yang berkembang perihal politik. Indonesia yang pada tahun
ini mempunyai hajatan besar pemilihan umum dihadapkan pada ujian hadirnya
partai politik (parpol) masuk kampus. Sebagai lembaga pendidikan yang membentuk
pribadi warga negara jelas melarang adanya parpol di tengah kehidupan kampus.
Pendapat ini bukan tanpa landasan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
pasal 86 ayat 1 menyatakan adanya pelarangan bentuk kampanye menggunakan fasilitas
pemerintah, tempat ibadah,
dan tempat pendidikan. Jelas, dalam hal ini kampus sebagai lembaga
pendidikan harus netral dari unsur kampanye parpol.
Keputusan Direktur Jendral Pendidkan Tinggi DIKTI Nomor : 26/Dikti/Kep/2002 Tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus juga menjadi landasan larangan
segala bentuk organisasi ekstra kampus dan Partai Politik membuka
Sekretariat (Perwakilan) dan atau melakukan aktivitas politik praktis di kampus. Memang, perihal kampanye dan parpol di kampus masih tampak problematis dan
dilematis. Pada satu sisi, bahwa kampus (secara yuridis) adalah lembaga
pendidikan sebagai wadah masyarakat ilmiyah tidak boleh digunakan untuk
kampanye partai politik adalah benar. Kampus adalah wilayah ilmiah, sementara
politik atau kampanye adalah bersifat propagandis.
segala bentuk organisasi ekstra kampus dan Partai Politik membuka
Sekretariat (Perwakilan) dan atau melakukan aktivitas politik praktis di kampus. Memang, perihal kampanye dan parpol di kampus masih tampak problematis dan
dilematis. Pada satu sisi, bahwa kampus (secara yuridis) adalah lembaga
pendidikan sebagai wadah masyarakat ilmiyah tidak boleh digunakan untuk
kampanye partai politik adalah benar. Kampus adalah wilayah ilmiah, sementara
politik atau kampanye adalah bersifat propagandis.
Pada sisi yang lain,
kampanye di kampus adalah salah satu bentuk pembelajaran politik bagi
mahasiswa, sehingga ini merupakan kebutuhan dan sangat urgent bagi mahasiswa sebagai agent of change. Namun demikian, perlu disadari bahwa sebagai lembaga yang netral, sebuah kampus harus
mempertahankan netralistasnya dari intervensi parpol yang kini mulai memasuki
sendi-sendi organisasi kampus. Jika dicermati lebih jauh, tidak jarang sebuah
organisasi ekstra kampus yang akhirnya berafiliasi dengan organisasi intra
kampus. Ada saja cara untuk memasukkan paham politik dari parpol melalui
program organisasi dan menjadi santapan mahasiswa. Perlu ditegaskan bahwa
mahasiswa mempunyai kewajiban memilah-memilih dan tetap pada idealismenya.
kampanye di kampus adalah salah satu bentuk pembelajaran politik bagi
mahasiswa, sehingga ini merupakan kebutuhan dan sangat urgent bagi mahasiswa sebagai agent of change. Namun demikian, perlu disadari bahwa sebagai lembaga yang netral, sebuah kampus harus
mempertahankan netralistasnya dari intervensi parpol yang kini mulai memasuki
sendi-sendi organisasi kampus. Jika dicermati lebih jauh, tidak jarang sebuah
organisasi ekstra kampus yang akhirnya berafiliasi dengan organisasi intra
kampus. Ada saja cara untuk memasukkan paham politik dari parpol melalui
program organisasi dan menjadi santapan mahasiswa. Perlu ditegaskan bahwa
mahasiswa mempunyai kewajiban memilah-memilih dan tetap pada idealismenya.
Tahun politik 2014 ini mengharuskan mahasiswa
berpikir cerdas untuk menentukan siapa pemimpinnya di masa depan. Mahasiswa
dituntut untuk menguatkan idealisme agar tetap netral dan menolak segala
intervensi parpol yang masuk pada sendi-sendi kampus. Perlu kecerdasan dan
sikap kritis mahasiswa dengan tetap mendukung segala pendidikan politik dan
mendukung adanya pemilihan umum. Hal yang sangat arif apabila pada tahun
politik ini mahasiswa mau memilih, menolak untuk golput, dan sama-sama
melindungi kampus dari bendera parpol maupun segala bentuk kampanye parpol
karena hitam di atas putih sudah tertuang dengan jelas sebagai dasar hukum.
berpikir cerdas untuk menentukan siapa pemimpinnya di masa depan. Mahasiswa
dituntut untuk menguatkan idealisme agar tetap netral dan menolak segala
intervensi parpol yang masuk pada sendi-sendi kampus. Perlu kecerdasan dan
sikap kritis mahasiswa dengan tetap mendukung segala pendidikan politik dan
mendukung adanya pemilihan umum. Hal yang sangat arif apabila pada tahun
politik ini mahasiswa mau memilih, menolak untuk golput, dan sama-sama
melindungi kampus dari bendera parpol maupun segala bentuk kampanye parpol
karena hitam di atas putih sudah tertuang dengan jelas sebagai dasar hukum.
Pada akhirnya, fenomena parpol masuk kampus adalah
ujian bagi pergerakan mahasiswa di tahun politik. Mahasiswa kritis dan solutif
menjadi harapan demi arah pendidikan politik di kampus. Bukan untuk menolak
adanya pemilu, namun justru mendukung adanya pemilu dengan tetap menjaga etika
dan alur yang ada. Mahasiswa harus kembali ke idealismenya sebagai agent of change yang bukan hanya bisa
mengkritik, namun bisa memberikan solusi. Mahasiswa, tentu saja harus melek politik, bukan buta politik.
ujian bagi pergerakan mahasiswa di tahun politik. Mahasiswa kritis dan solutif
menjadi harapan demi arah pendidikan politik di kampus. Bukan untuk menolak
adanya pemilu, namun justru mendukung adanya pemilu dengan tetap menjaga etika
dan alur yang ada. Mahasiswa harus kembali ke idealismenya sebagai agent of change yang bukan hanya bisa
mengkritik, namun bisa memberikan solusi. Mahasiswa, tentu saja harus melek politik, bukan buta politik.
“Buta yang terburuk adalah BUTA POLITIK. Dia tidak mendengar,
tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak
tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa,
harga sepatu dan obat, dll semua tergantung pada KEPUTUSAN POLITIK. Orang
yang BUTA POLITIK begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya
mengatakan bahwa ia membenci politik. Si Dungu ini tidak tahu bahwa dari
kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari
semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan
multinasinal.” (Bertolt Brecht – Penyair Jerman)
tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak
tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa,
harga sepatu dan obat, dll semua tergantung pada KEPUTUSAN POLITIK. Orang
yang BUTA POLITIK begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya
mengatakan bahwa ia membenci politik. Si Dungu ini tidak tahu bahwa dari
kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari
semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan
multinasinal.” (Bertolt Brecht – Penyair Jerman)
Oleh : Janu Muhammad, Mahasiswa Pendidikan Geografi UNY
Diterbitkan di Buletin LENTERA BEM FIS UNY Edisi Khusus 28 Maret 2014