Tingkat literasi masyarakat Indonesia berada pada zona merah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2016 terhadap 61 negara di dunia menunjukkan kebiasaan membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Indonesia berada di peringkat 60, hanya 1 level di atas Botswana. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah kurangnya akses, terutama di daerah terpencil yang masih jauh dengan sentuhan informasi dan teknologi. Bagaimana dengan mereka yang tinggal di dekat kota atau pusat pertumbuhan? Meski kesempatan mengakses segala sumber literasi dapat dikatakan lebih mudah, namun siapa sangka jika ternyata faktanya tidak berkebalikan.
Perkembangan teknologi yang semakin cepat dewasa ini menyebabkan akses informasi melalui internet hanya dalam hitungan detik. Sebagai dampaknya di dunia pendidikan, anak lebih mengakses informasi untuk pembelajaran lewat gawai dibandingkan datang langsung ke tempat utamanya, perpustakaan. Sesuai data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tercatat lebih kurang 143 juta pengguna intenet di Indonesia pada tahun 2017. Itu artinya, setengah dari rakyat Indonesia adalah pengguna internet. Dampak yang terasa adalah rendahnya minat baca anak terhadap referensi yang ada di perpustakaan.
Tingkat literasi masyarakat Indonesia berkaitan erat dengan budaya baca. Perpustakaan sebagai salah satu tempat terbaik untuk menanamkan budaya baca menjadi akar utamanya. Ketidakhadiran masyarakat ke perpustakaan terlihat nyata. Jika ditelusuri mendalam, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi. Pertama, minimnya koleksi buku. Hal ini menjadi penyebab utamanya. Bab II pasal 5 pada Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan mengingatkan bahwa masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh layanan serta memanfaatkan dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan. Kedua, belum adanya pemanfaatan teknologi untuk menunjang inovasi yang perlu dikembangkan. Faktor kedua ini terjadi apabila sumber daya manusia yang mengelola belum mampu menggunakan teknologi untuk inovasj layanan. Ketiga, adalah terkait minimnya fasilitas pendukung di dalam perpustakaan. Jika tidak terpenuhi, pemustaka enggan datang ke perpustakaan. Contohnya adalah ruang bioskop pendidikan, ruang kantin, dan ruang ramah anak.
Permasalahan rendahnya minat baca yang berujung pada tidak minatnya masyarakat untuk ke perpustakaan urgent untuk diselesaikan. Perpustakaan tidak hanya sebagai tempat untuk membaca, tetapi ada fungsi lain seperti untuk tempat penelitian maupun rekreasi. Apabila enggan ke perpustakaan karena terkesan kuno ini masih berlanjut tanpa adanya solusi, maka dikhawatirkan indeks perkembangan manusia Indonesia hanya bergerak di tempat. Untuk itu perlu langkah strategis yang harus dicapai oleh pemerintah dan masyarakat untuk menghadirkan perpustakaan impian, ladang literasi yang mendapat perhatian lebih seksama di tengah masyarakat.
Pengalaman berkeliling ke Australia, Belanda, Inggris, Amerika, dan beberapa negara lainnya, selalu memberikan hal baru bagi saya di bidang perpustakaan. Ketika mencicipi bangku kuliah luar negeri, saya beruntung diberi kesempatan menikmati fasilitas perpustakaan serba berkualitas. Mulai dari koleksi buku, pelayanan yang sangat profesional, beragam fasilitas di dalam perpustakaan, sampai-sampai jam buka layanannya 24 jam! Bahkan, saking betahnya di perpustakaan, saya dan rekan-rekan mahasiswa selalu memilih perpustakaan untuk menghabiskan akhir pekan dengan sederet tugas kuliah. Ketika perkembangan manajemen perpustakaan di luar negeri begitu pesat, bagaimana dengan kondisi di dalam negeri?
Apresiasi setinggi-tingginya untuk pemerintah Republik Indonesia, khsususnya Pemda DIY yang telah menghadirkan Grhatama Pustaka untuk masyarakat Yogyakarta. Keberadaanya telah memberikan dampak positif untuk menggerakkan masyarakat berkunjung ke perpustakaan. Selain lokasinya yang strategis, aspek yang menjadi daya tarik adakah lengkapnya fasilitas di perpustakaan umum ini. Kali pertama saya ajak istri dan buah hati, kami langsung jatuh hati. Inilah perpustakaan impian itu, yang tidak hanya sekadar tempat membaca, tetapi lebih dari itu. Grhatama Pustaka hadir dengan nuansa ramah untuk keluarga, untuk difabel, untuk semua elemen masyarakat. Bahkan ruang laktasi dan bioskop pun ada. Ketika anak-anak dan pengunjung lainnya sudah betah, dijamin mereka akan sering singgah. Ketika lapar? Ada kafetaria, semua tersedia di sini.
Ketika kelengkapan fasilitas sudah menjadi sisi prioritas yang ditawarkan pengunjung, harapannya akan ada umpan balik yang positif. Bagi pemustaka, memiliki perpustakaan impian dengan berbagai sarana pendukung seharusnya berdampak pada pengembangan kapasitas diri. Pun demikian dapat menjadi perhatian agar semakin banyak yang meluangkan waktu di hari kunjung perpustakaan. Bagi pengelola perpustakaan, inovasi dan sinergi dengan berbagai pihak tetap harus dikedepankan, agar masyarakat dapat memiliki pola pikir baru dengan disuguhkan berbagai program yang tepat sasaran seperti literasi digital. Bagi pemerintah daerah, sangat tepat apabila terus memberikan dukungan penuh agar akses informasi berkualitas dapa lebih luas sampai ke lapisan masyarakat. Semoga misi perpustakaan impian terwujud secara nyata dengan sinergi berbagai pihak.
Referensi :
Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan