“Manusia dan bahasa adalah satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menjadi orang asing di negeri ini
menumbuhkan rasa syukur betapa bahagianya bisa berbahasa Indonesia. Ada juga
yang justru mulai meninggalkannya. Mereka yang tinggal di sini antusias untuk
mempelajarinya. Kita ?”
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menjadi orang asing di negeri ini
menumbuhkan rasa syukur betapa bahagianya bisa berbahasa Indonesia. Ada juga
yang justru mulai meninggalkannya. Mereka yang tinggal di sini antusias untuk
mempelajarinya. Kita ?”
Hari ini Selasa 18 November 2014 saya
memulai aktivitas di 22 Elgata Street, The Gap, Queensland dengan bersih-bersih
diri sekitar Pkl 08.00. Setelah itu, saya dan Gwenda ada agenda di sebuah
sekolah menengah atas, namanya Ferny Grove State High School. Kami berencana ke
sana untuk mengajar bahasa Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Indonesia.
Ada yang special untuk pakaian saya hari ini. Saya mengenakan pakaian adat
Yogyakarta, jarik, blangkon, dan baju lurik (sorjan). Semuanya serba pinjaman
dari teman dan mamak. Akhirnya kostum ini dipakai juga. Dengan alas sepatu
coklat, pin GMB di dada kanan, saya tampil beda, barangkali lebih ganteng ala
Jogja.
memulai aktivitas di 22 Elgata Street, The Gap, Queensland dengan bersih-bersih
diri sekitar Pkl 08.00. Setelah itu, saya dan Gwenda ada agenda di sebuah
sekolah menengah atas, namanya Ferny Grove State High School. Kami berencana ke
sana untuk mengajar bahasa Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Indonesia.
Ada yang special untuk pakaian saya hari ini. Saya mengenakan pakaian adat
Yogyakarta, jarik, blangkon, dan baju lurik (sorjan). Semuanya serba pinjaman
dari teman dan mamak. Akhirnya kostum ini dipakai juga. Dengan alas sepatu
coklat, pin GMB di dada kanan, saya tampil beda, barangkali lebih ganteng ala
Jogja.
Alex dan Gwenda kaget melihat
penampilan saya, “Wow you are very nice, all students will take picture with
you.” Terimakasih Gwenda atas pujiannya, saya berbisik dalam hati, “Ini yang
bagus bajuanya, sayanya biasa aja kali.” Kami pun sarapan pagi, spesial indomie
pakai telur ceplok. Karena waktu sudah menunjukkan Pkl 8.45 dan kelas dimulai
Pkl 9.20 maka kami serba cepat. Tidak sampai 3 menit makanan sudah habis, kopi
panasnya belum habis karena keburu telat. Sayajadi ingat bahwa GMB mengajarkan
saya untuk tidak telat, “Time is opportunity”. Setelah semuanya siap, kami pun
berangkat, di luar ternyata sedang gerimis, hujan pertama di sini, dengan suhu
lumayan dingin 22 derajat celcius.
penampilan saya, “Wow you are very nice, all students will take picture with
you.” Terimakasih Gwenda atas pujiannya, saya berbisik dalam hati, “Ini yang
bagus bajuanya, sayanya biasa aja kali.” Kami pun sarapan pagi, spesial indomie
pakai telur ceplok. Karena waktu sudah menunjukkan Pkl 8.45 dan kelas dimulai
Pkl 9.20 maka kami serba cepat. Tidak sampai 3 menit makanan sudah habis, kopi
panasnya belum habis karena keburu telat. Sayajadi ingat bahwa GMB mengajarkan
saya untuk tidak telat, “Time is opportunity”. Setelah semuanya siap, kami pun
berangkat, di luar ternyata sedang gerimis, hujan pertama di sini, dengan suhu
lumayan dingin 22 derajat celcius.
Sepanjang perjalanan saya dan
Gwenda berbincang, biasa seputar Indonesia dan Jogja. Dia membawa pembicaraan
pada pakaian tradisional dan budaya di Jogja. Beberapa menit kemudian kami
sampai di sekolah. “Ya Allah ini sekolahnya di mana kok nggak kelihatan,” bisik
saya dalam hati. “The school over there, its about 200 meters,” jawab seorang
staf. Kami pun berjalan menuju kantor administrasi dan memohon izin untuk masuk
kelas bahasa. Sepanjang jalan banyak cewek-cewek memandang saya, “What’s wrong
with me?” Apa saya salah kostum ? Kata Gwenda karena saya tampil beda. Akhirnya
Pkl 9.30 sampai kelas bahasa dan ketemu Mrs. Nic. Orangnya ramah dan friendly.
Akhirnya bisa menyapa para siswa. Mereka berdiri dan memberi salam “Selamat
pagi ibu-ibu.” What ? Saya bukan ibu, saya pun mengoreksi “Selamat pagi bapak”
meskipun sebenarnya saya belum jadi bapak.
Gwenda berbincang, biasa seputar Indonesia dan Jogja. Dia membawa pembicaraan
pada pakaian tradisional dan budaya di Jogja. Beberapa menit kemudian kami
sampai di sekolah. “Ya Allah ini sekolahnya di mana kok nggak kelihatan,” bisik
saya dalam hati. “The school over there, its about 200 meters,” jawab seorang
staf. Kami pun berjalan menuju kantor administrasi dan memohon izin untuk masuk
kelas bahasa. Sepanjang jalan banyak cewek-cewek memandang saya, “What’s wrong
with me?” Apa saya salah kostum ? Kata Gwenda karena saya tampil beda. Akhirnya
Pkl 9.30 sampai kelas bahasa dan ketemu Mrs. Nic. Orangnya ramah dan friendly.
Akhirnya bisa menyapa para siswa. Mereka berdiri dan memberi salam “Selamat
pagi ibu-ibu.” What ? Saya bukan ibu, saya pun mengoreksi “Selamat pagi bapak”
meskipun sebenarnya saya belum jadi bapak.
Saya dan Gwenda merasa terhormat
sudah diundang untuk hadir di kelas ini, bertemu adik-adik asli Australia yang
antusias belajar bahasa Indonesia. Bu Nic kemudian memberi kesempatan kepada
saya untuk memperkenalkan diri dengan menuliskan nama di papan tulis. “My name
Janu, you can call me Pak Janu, and she is Gwenda my host family.” Ekspresi
mereka biasa saja, datar. Apa ya yang salah dengan saya ? Apa kurang menarik ?
Atau… Lalu Bu Nic akhirnya mencairkan suasana dengan memberi kesempatan saya
untuk menjelaskan budaya Indonesia khususnya Jogja. Dengan logat campuran Indo
Inggris, saya menerangkan kraton, Jogja kota pendidikan, batik, Borobudur, dan
hal-hal menarik tentang Jogja. “How many people in Java island?” tanya Bu Nic.
Para siswa pun mulai “raise their hand” atau ngacung. Suasana mulai cair dan
saya mulai interaktif dengan siswa dengan mendekatinya. “Its about 70% form the
total population in Indonesia.” Mereka mulai membuka kalkulator dan hape. Hal
menariknya adalah rasa ingin tahu mereka tersalurkan dengan bertanya langsung.
sudah diundang untuk hadir di kelas ini, bertemu adik-adik asli Australia yang
antusias belajar bahasa Indonesia. Bu Nic kemudian memberi kesempatan kepada
saya untuk memperkenalkan diri dengan menuliskan nama di papan tulis. “My name
Janu, you can call me Pak Janu, and she is Gwenda my host family.” Ekspresi
mereka biasa saja, datar. Apa ya yang salah dengan saya ? Apa kurang menarik ?
Atau… Lalu Bu Nic akhirnya mencairkan suasana dengan memberi kesempatan saya
untuk menjelaskan budaya Indonesia khususnya Jogja. Dengan logat campuran Indo
Inggris, saya menerangkan kraton, Jogja kota pendidikan, batik, Borobudur, dan
hal-hal menarik tentang Jogja. “How many people in Java island?” tanya Bu Nic.
Para siswa pun mulai “raise their hand” atau ngacung. Suasana mulai cair dan
saya mulai interaktif dengan siswa dengan mendekatinya. “Its about 70% form the
total population in Indonesia.” Mereka mulai membuka kalkulator dan hape. Hal
menariknya adalah rasa ingin tahu mereka tersalurkan dengan bertanya langsung.
Sesi selanjutnya adalah pemutaran
film. Saya bawakan sebuah short video about Jogjakarta. Kami pun menyaksikan
tayangan di video itu dan para siswa mulai melihat tampilan nyata apa itu
batik, wayang, Borobudur, dan lain sebagainya lewat video. Betapa bersyukurnya
saya, di mata mereka Indonesia itu indah. Di mata mereka Jogja itu kota
pendidikan, bukan kah itu hal yang positif? Setelah sekitar 4 menit, video pun
berakhir. Para siswa mulai menyebutkan hal-hal yang ada di video. Mereka
mengapresiasi apa yang dilihat, mereka ikut bangga dengan Indonesia. Setelah
itu, waktu yang ditunggu-tunggu tiba. “We have to continue with listening
test.” Pertama kalinya saya memandu mereka untuk menghafal nama benda-benda
yang ada di slide show. Pertama ada “tikus, di atas, banyak, istana, dll).
Setelah dua kali pengulangan, mereka diberikan tugas untuk menjodohkan
nama-nama kata dalam bahasa Indonesia tadi dengan artinya dalam bahasa Inggris,
ada gambar sebagai ilustrasinya juga. Ini metode yang menurut saya asyik,
karena di samping belajar, mereka juga terlibat game. Mereka saling berebutan
maju ke depan untuk mengisikan kolom yang tersedia.
film. Saya bawakan sebuah short video about Jogjakarta. Kami pun menyaksikan
tayangan di video itu dan para siswa mulai melihat tampilan nyata apa itu
batik, wayang, Borobudur, dan lain sebagainya lewat video. Betapa bersyukurnya
saya, di mata mereka Indonesia itu indah. Di mata mereka Jogja itu kota
pendidikan, bukan kah itu hal yang positif? Setelah sekitar 4 menit, video pun
berakhir. Para siswa mulai menyebutkan hal-hal yang ada di video. Mereka
mengapresiasi apa yang dilihat, mereka ikut bangga dengan Indonesia. Setelah
itu, waktu yang ditunggu-tunggu tiba. “We have to continue with listening
test.” Pertama kalinya saya memandu mereka untuk menghafal nama benda-benda
yang ada di slide show. Pertama ada “tikus, di atas, banyak, istana, dll).
Setelah dua kali pengulangan, mereka diberikan tugas untuk menjodohkan
nama-nama kata dalam bahasa Indonesia tadi dengan artinya dalam bahasa Inggris,
ada gambar sebagai ilustrasinya juga. Ini metode yang menurut saya asyik,
karena di samping belajar, mereka juga terlibat game. Mereka saling berebutan
maju ke depan untuk mengisikan kolom yang tersedia.
Akhirnya, kami pun mengoreksi
bersama. Semua benar, semua siswa terlihat ceria karena berhasil menjawab tantangan
dari Bu Nic. Saya pun mengakhiri pertemuan pagi ini dengan mengucap terimakasih
dan sampai bertemu di Indonesia. Para siswa bertepuk tangan sebagai tanda
terimakasih. Sungguh, pengalaman baru yang luar biasa bisa bertemu mereka.
bersama. Semua benar, semua siswa terlihat ceria karena berhasil menjawab tantangan
dari Bu Nic. Saya pun mengakhiri pertemuan pagi ini dengan mengucap terimakasih
dan sampai bertemu di Indonesia. Para siswa bertepuk tangan sebagai tanda
terimakasih. Sungguh, pengalaman baru yang luar biasa bisa bertemu mereka.
Kegiatan singkat mengajar bahasa
Indonesia di Ferny Grove State High School tadi pagi memberi saya kesempatan
untuk berbuat sesuatu di program homestay ini. Meskipun ini di luar rencana
karena The Gap State High School belum memberi kesempatannya, saya senang dapat
berbagi dan bertemu mereka di kelas tadi. Saya tersadar, ternyata bahasa
Indonesia saat ini mulai dipelajari orang asing. Bersyukurnya, karena bahasa
kita mulai dikenal negara lain. Ketika saya berdiskusi dengan Bu Nic beliau
pada intinya menyampaikan, “Bahasa menjadi hal yang sangat penting saat ini,
apalagi hubungan dekat antara Indonesia dan Australia di ebrbagai sektor yang
akhirnya mengharuskan kami untuk mempelajarinya.” Ada sisi positif ketika
bahasa Indonesia mulai dipelajari orang asing seperti di Australia ini. Ada
sisi negative ketika masyarakat kita sendiri justru mulai meninggalkannya,
meskipun hanya segelintir orang. Ada sebagian yang mulai bangga dengan cap cis
cus dengan bahasa Inggris karena lebih berguna dan tikda ketinggalan zaman.
Akhirnya ada yang mulai tidak bangga terhadap bahasa sendiri. Tetapi lihatlah,
mereka yang bukan terlahir dari orang tua dengan logat bahasa Indonesiapun
justru bangga mempelajarinya. Meskipun terbata-bata, mereka bersemangat untuk
melafalkannya.
Indonesia di Ferny Grove State High School tadi pagi memberi saya kesempatan
untuk berbuat sesuatu di program homestay ini. Meskipun ini di luar rencana
karena The Gap State High School belum memberi kesempatannya, saya senang dapat
berbagi dan bertemu mereka di kelas tadi. Saya tersadar, ternyata bahasa
Indonesia saat ini mulai dipelajari orang asing. Bersyukurnya, karena bahasa
kita mulai dikenal negara lain. Ketika saya berdiskusi dengan Bu Nic beliau
pada intinya menyampaikan, “Bahasa menjadi hal yang sangat penting saat ini,
apalagi hubungan dekat antara Indonesia dan Australia di ebrbagai sektor yang
akhirnya mengharuskan kami untuk mempelajarinya.” Ada sisi positif ketika
bahasa Indonesia mulai dipelajari orang asing seperti di Australia ini. Ada
sisi negative ketika masyarakat kita sendiri justru mulai meninggalkannya,
meskipun hanya segelintir orang. Ada sebagian yang mulai bangga dengan cap cis
cus dengan bahasa Inggris karena lebih berguna dan tikda ketinggalan zaman.
Akhirnya ada yang mulai tidak bangga terhadap bahasa sendiri. Tetapi lihatlah,
mereka yang bukan terlahir dari orang tua dengan logat bahasa Indonesiapun
justru bangga mempelajarinya. Meskipun terbata-bata, mereka bersemangat untuk
melafalkannya.
Saya berpikir, “Oh ternyata ada
manfaatnya juga yang bisa berbahasa Indonesia, apalagi kini sudah mengglobal.”
Saya bersyukur terlahir di Indonesia dengan logat bahasa Indonesia dan Jawa
karena dengan bahasalah kita mulai mengenal satu sama lain. Mulai dari bahasa
lah ada pertemanan yang terikat dan dari bahasa lah networking semakin meluas.
manfaatnya juga yang bisa berbahasa Indonesia, apalagi kini sudah mengglobal.”
Saya bersyukur terlahir di Indonesia dengan logat bahasa Indonesia dan Jawa
karena dengan bahasalah kita mulai mengenal satu sama lain. Mulai dari bahasa
lah ada pertemanan yang terikat dan dari bahasa lah networking semakin meluas.
Setelah selesai, kami pun pamit
dan kembali ke rumah melanjutkan aktivitas. Pengalaman baru hari ini menambah
khasanah hikmah untuk semakin mencintai Indonesia, mulai dari bahasanya.
dan kembali ke rumah melanjutkan aktivitas. Pengalaman baru hari ini menambah
khasanah hikmah untuk semakin mencintai Indonesia, mulai dari bahasanya.