“Orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)
Jam sudah menunjukkan Pkl 03.00 waktu Brisbane. Mata ini
belum bisa terpejam karena memikirkan sebuah tulisan yang belum kunjung mulai.
Memang ini sifat saya, kalau ada pekerjaan yang belum selesai pasti sulit
tidur. Baiklah, saya mencoba menulis dengan bahasa sederhana. Yang penting
nulis, kata Pramoedya di atas, supaya moment-moment selama homestay ini terekam
menjadi sebuah pembelajaran.
belum bisa terpejam karena memikirkan sebuah tulisan yang belum kunjung mulai.
Memang ini sifat saya, kalau ada pekerjaan yang belum selesai pasti sulit
tidur. Baiklah, saya mencoba menulis dengan bahasa sederhana. Yang penting
nulis, kata Pramoedya di atas, supaya moment-moment selama homestay ini terekam
menjadi sebuah pembelajaran.
Senin, 17 November 2014 adalah hari ke-12 saya menjalani
program homestay Gerakan Mari Berbagi di Australia ini. Pagi itu, seperti biasa
saya memulai aktivitas di rumah Gwenda Spencer dan Tom Spencer. Hari itu kami
tidak sarapan bersama karena perbedaan jam bangun dan aktivitas. Tom sudah
duluan bekerja, sedangkan Gwenda masih menyelesaikan beberapa pekerjaan di
kamar belakang. Saya pagi itu bangun cukup pagi, sekitar Pkl 5.30. Setelah itu
saya sholat dan bersih-bersih diri. Tidak lupa juga menyalakan laptop dan
membuka sosial media maupun kabar berita. Saya teringat, agenda hari ini di
antaranya bertemu dosen di University of
Queensland (UQ) dilanjutkan menghadiri acara temu bersama Perhimpunan
Pelajar Indonesia di Australia (PPIA). Sekitar Pkl 09.00 saya bersiap sarapan
bersama Gwenda dan setelah itu langsung berangkat ke University of Queensland. Saya
bertemu Bu Sonia Routman, seorang dosen dari School of Geography, Planning, and Environmental Management. Kami
sebenatnya belum pernah bertemu, baru terhubung melalui email. Setelah memasuki
Chamberlain Building, saya menuju lantai 5 di ruangan paling selatan. Saya pun
bertemu dengan Bu Sonia dan langsung mengutarakan tentang maksud serta tujuan
bertemu, salah satunya untuk menyampaikan pesan dari kepala jurusan Pendidikan
Geografi UNY dalam rencana kerja sama universitas.
program homestay Gerakan Mari Berbagi di Australia ini. Pagi itu, seperti biasa
saya memulai aktivitas di rumah Gwenda Spencer dan Tom Spencer. Hari itu kami
tidak sarapan bersama karena perbedaan jam bangun dan aktivitas. Tom sudah
duluan bekerja, sedangkan Gwenda masih menyelesaikan beberapa pekerjaan di
kamar belakang. Saya pagi itu bangun cukup pagi, sekitar Pkl 5.30. Setelah itu
saya sholat dan bersih-bersih diri. Tidak lupa juga menyalakan laptop dan
membuka sosial media maupun kabar berita. Saya teringat, agenda hari ini di
antaranya bertemu dosen di University of
Queensland (UQ) dilanjutkan menghadiri acara temu bersama Perhimpunan
Pelajar Indonesia di Australia (PPIA). Sekitar Pkl 09.00 saya bersiap sarapan
bersama Gwenda dan setelah itu langsung berangkat ke University of Queensland. Saya
bertemu Bu Sonia Routman, seorang dosen dari School of Geography, Planning, and Environmental Management. Kami
sebenatnya belum pernah bertemu, baru terhubung melalui email. Setelah memasuki
Chamberlain Building, saya menuju lantai 5 di ruangan paling selatan. Saya pun
bertemu dengan Bu Sonia dan langsung mengutarakan tentang maksud serta tujuan
bertemu, salah satunya untuk menyampaikan pesan dari kepala jurusan Pendidikan
Geografi UNY dalam rencana kerja sama universitas.
Sekitar 50 menit saya berdiskusi dengan Bu Sonia, kemudian
saya bertemu dengan mas Andri Supriatna, pelajar Indonesia yang baru kuliah di UQ.
Kami sebelumnya juga belum pernah bertemu, baru melalui email. Ketika membuka
perkenalan, saya pun mengutarakan tentang GMB dan programnya sehingga beliau
paham. Karena waktu sudah menunjukkan awal ibadah Dzuhur, maka saya dan mas
Andri langsung ke masjid UQ. Ini adalah satu-satunya masjid yang saya temui di
UQ. Selepas menunaikan ibadah sholat Dzuhur kami berpisah, mas Andri mau
bertemu bu Sonia untuk bimbingan desertasi dan saya mau mencari gerbang UQ yang
ada tulisan besar itu. Saya pun berjalan kea rah utara kalau tidak salah dan
akhirnya ketemu juga. Masalah timbul ketika di sana tidak ada orang yang saya
mintai bantuan untuk memfoto. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya ada saya
bertemu orang Indonesia, rasanya senang sekali. Namanya mbak Sri, pelajar S3 di
UQ, asli Malang. Beliau adalah dosen di Universitas Islam Negeri Malang. Kami
serasa sama tingkatannya, padahal saya masih junior S1. Kami berbicang sebentar
dan akhirnya foto bersama secara gentian. Mbak Sri pun mengantar saya naik
CityCat, perahu yang melintasi Sungai Brisbane. Saya naik CityCat untuk menuju
South Bank Parkland, tempat akan diadakannya temu bareng PPIA, Konsulat
Jenderal, dan GMB.
saya bertemu dengan mas Andri Supriatna, pelajar Indonesia yang baru kuliah di UQ.
Kami sebelumnya juga belum pernah bertemu, baru melalui email. Ketika membuka
perkenalan, saya pun mengutarakan tentang GMB dan programnya sehingga beliau
paham. Karena waktu sudah menunjukkan awal ibadah Dzuhur, maka saya dan mas
Andri langsung ke masjid UQ. Ini adalah satu-satunya masjid yang saya temui di
UQ. Selepas menunaikan ibadah sholat Dzuhur kami berpisah, mas Andri mau
bertemu bu Sonia untuk bimbingan desertasi dan saya mau mencari gerbang UQ yang
ada tulisan besar itu. Saya pun berjalan kea rah utara kalau tidak salah dan
akhirnya ketemu juga. Masalah timbul ketika di sana tidak ada orang yang saya
mintai bantuan untuk memfoto. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya ada saya
bertemu orang Indonesia, rasanya senang sekali. Namanya mbak Sri, pelajar S3 di
UQ, asli Malang. Beliau adalah dosen di Universitas Islam Negeri Malang. Kami
serasa sama tingkatannya, padahal saya masih junior S1. Kami berbicang sebentar
dan akhirnya foto bersama secara gentian. Mbak Sri pun mengantar saya naik
CityCat, perahu yang melintasi Sungai Brisbane. Saya naik CityCat untuk menuju
South Bank Parkland, tempat akan diadakannya temu bareng PPIA, Konsulat
Jenderal, dan GMB.
Saya begitu menikmati pemandangan di atas CityCat, melihat
kota Brisbane yang modern, bersih, industry, dan sangat nyaman untuk
ditinggali. Bebetrapa menit kemudian akhirnya sampai di dermaga South Bank 2.
Saya turun dan menghubungi teman GMB kak Riska, kak Indah, dan kak Dian yang
sudah menunggu di dekat pantai buatan. Sekadar informasi, kawasan South Bank
ini adalah kawasan wisata favorit, ada taman kota, museum, pantai buatan, dan
fasilitas lainnya yang free access.
Saya menuju ke arah South Bank 1 dan akhirnya bertemu tiga teman yang telah
menunggu. Kami berempat langsung ke Parkland, bertemu kakak-kakak PPIA.
Senangnya akhirnya bisa bertemu dengan kakak-kakak PPIA. Ada mas Dudy (Presidium
PPI Dunia), mas Taufan (Wakil Ketua PPIA), mbak Yani (Humas PPIA), mas Andri
Sinaga, mas Asri, mas Ichal, mas Delvin, mas Jose, Pak Nas, dan lain sebagainya
yang selama ini saya baru bisa mengontak mereka lewat facebook. Alhamdulillah,
ini kesempatan berharga untuk bersilaturahim langsung dengan beliau yang
menginspirasi. Acara siang itu sebenarnya adalah BBQ dan dilanjutkan salam sapa
PPIA Pusat, PPIA Ranting, dan GMB. Setelah makan bersama, ada daging, sosis,
dan lain-lain, kami duduk bersama membentuk lingkaran dan saling memperkenalkan
diri. Nama saya Janu, dan seterusnya. Kami semua tersenyum dengan lawakannya
masing-masing. Tibalah giliran GMB untuk memperkenalkan diri. Awalnya
disampaikan oleh kak Indah dan dilanjutkan oleh saya. Mereka antusias
mendengarkan apa itu GMB dan kegiatannya. Yang cukup menarik perhatian adalah
perjalanan dengan uang 100 ribu rupiah.
kota Brisbane yang modern, bersih, industry, dan sangat nyaman untuk
ditinggali. Bebetrapa menit kemudian akhirnya sampai di dermaga South Bank 2.
Saya turun dan menghubungi teman GMB kak Riska, kak Indah, dan kak Dian yang
sudah menunggu di dekat pantai buatan. Sekadar informasi, kawasan South Bank
ini adalah kawasan wisata favorit, ada taman kota, museum, pantai buatan, dan
fasilitas lainnya yang free access.
Saya menuju ke arah South Bank 1 dan akhirnya bertemu tiga teman yang telah
menunggu. Kami berempat langsung ke Parkland, bertemu kakak-kakak PPIA.
Senangnya akhirnya bisa bertemu dengan kakak-kakak PPIA. Ada mas Dudy (Presidium
PPI Dunia), mas Taufan (Wakil Ketua PPIA), mbak Yani (Humas PPIA), mas Andri
Sinaga, mas Asri, mas Ichal, mas Delvin, mas Jose, Pak Nas, dan lain sebagainya
yang selama ini saya baru bisa mengontak mereka lewat facebook. Alhamdulillah,
ini kesempatan berharga untuk bersilaturahim langsung dengan beliau yang
menginspirasi. Acara siang itu sebenarnya adalah BBQ dan dilanjutkan salam sapa
PPIA Pusat, PPIA Ranting, dan GMB. Setelah makan bersama, ada daging, sosis,
dan lain-lain, kami duduk bersama membentuk lingkaran dan saling memperkenalkan
diri. Nama saya Janu, dan seterusnya. Kami semua tersenyum dengan lawakannya
masing-masing. Tibalah giliran GMB untuk memperkenalkan diri. Awalnya
disampaikan oleh kak Indah dan dilanjutkan oleh saya. Mereka antusias
mendengarkan apa itu GMB dan kegiatannya. Yang cukup menarik perhatian adalah
perjalanan dengan uang 100 ribu rupiah.
Alhamdulillah, menikmati indahnya kota Brisbane |
Setelah itu dilanjutkan oleh diskusi yang cukup interaktif
dengan dipandu oleh mas Ahmad Almadudy, ketua PPIA dan sekaligus Presidium PPI
Dunia. Ya Allah, saya bersyukur sekali dapat bertemu beliau, sosok muda yang
menginspirasi. Mas Dudy menyampaikan kepada hadirin akan pentingnya mengeratkan
persatuan bagi seluruh pelajar Indonesia baik yang ada di dalam dan di luar
negeri. Khususnya yang di luar negeri, mempunyai misi khusus untuk menjadi duta
Indonesia dan menjaga nama harum Indonesia di dunia internasional. Caranya
adalah dengan ikut berkontribusi melalui Perhimpunan Pelajar Indonesia,
mengembangkan riset internasional dan publikasi ilmiah. “Itu salah satu bentuk kontribusi kita untuk Indonesia tercinta.”
Sebuah petikan yang membuat saya merinding adalah ketika mas Dudy mengatakan, “Saya
terpilih sebagai Presidium PPI Dunia bukan saya hebat, bukan karena saya telah
berbuat banyak, tetapi karena rekan-rekanlah yang memberikan kekuatan itu
sehingga saya dipercaya mengemban amanah ini.” Saya langsung berpikir, saat ini
saya ada di depan orang-orang hebat Indonesia yang menjadi ujung tombak masa depan
Indonesia.
dengan dipandu oleh mas Ahmad Almadudy, ketua PPIA dan sekaligus Presidium PPI
Dunia. Ya Allah, saya bersyukur sekali dapat bertemu beliau, sosok muda yang
menginspirasi. Mas Dudy menyampaikan kepada hadirin akan pentingnya mengeratkan
persatuan bagi seluruh pelajar Indonesia baik yang ada di dalam dan di luar
negeri. Khususnya yang di luar negeri, mempunyai misi khusus untuk menjadi duta
Indonesia dan menjaga nama harum Indonesia di dunia internasional. Caranya
adalah dengan ikut berkontribusi melalui Perhimpunan Pelajar Indonesia,
mengembangkan riset internasional dan publikasi ilmiah. “Itu salah satu bentuk kontribusi kita untuk Indonesia tercinta.”
Sebuah petikan yang membuat saya merinding adalah ketika mas Dudy mengatakan, “Saya
terpilih sebagai Presidium PPI Dunia bukan saya hebat, bukan karena saya telah
berbuat banyak, tetapi karena rekan-rekanlah yang memberikan kekuatan itu
sehingga saya dipercaya mengemban amanah ini.” Saya langsung berpikir, saat ini
saya ada di depan orang-orang hebat Indonesia yang menjadi ujung tombak masa depan
Indonesia.
Saya mengambil pelajaran bahwa homestay yang diberikan GMB
ini adalah salah satu jalan menuju mimpi saya kuliah di luar negeri. Sudah
sejak dua tahun yang lalu saya memimpikannya. Saya semakin terdorong ketika
berada di dunia internasional seperti saat ini dan ada sebuah panggilan agar
saya merantau ke luar negeri suatu saat nanti. Ingat dengan kutipan syair dari
Imam Syafi’I berjudul “Merantaulah” ini ?
ini adalah salah satu jalan menuju mimpi saya kuliah di luar negeri. Sudah
sejak dua tahun yang lalu saya memimpikannya. Saya semakin terdorong ketika
berada di dunia internasional seperti saat ini dan ada sebuah panggilan agar
saya merantau ke luar negeri suatu saat nanti. Ingat dengan kutipan syair dari
Imam Syafi’I berjudul “Merantaulah” ini ?
“Orang pandai dan beradab tak ‘kan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri
orang
Pergilah ‘kan kau dapatkan pengganti dari kerabat
dan teman
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah
lelah berjuang
Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam
tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak, dia ‘kan
keruh menggenan…”
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri
orang
Pergilah ‘kan kau dapatkan pengganti dari kerabat
dan teman
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah
lelah berjuang
Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam
tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak, dia ‘kan
keruh menggenan…”
Syair ini adalah salah satu dorongan kuat saya untuk
menjemput mimpi kuliah di luar negeri. Ada sebuah keinginan ketika saya suatu
saat nanti bisa fokus studi dan mengembangkan riset di sini. Kuliah di luar
negeri akan memberikan wawasan baru untuk open minded di dunia internasional
dan menjadikan kita untuk ingin selalu memberikan yang terbaik bagi bangsa
Indonesia. Melalui program homestay ini, saya pun menangkap dampak positif
bahwa inilah kesempatan saya untuk berinteraksi dan belajar langsung dari para
pelajar Indonesia yang saat ini di luar negeri. Ketika saya bertanya dengan
beberapa rekan PPIA, misalnya mbak Tri Mulyani, pelajar Indonesia di Queensland
University of Technology. “Apa yang membuat mbak Yani akhirnya memilih
Australia sebagai tempat studi lanjut ?” Beliaupun menjawab,
menjemput mimpi kuliah di luar negeri. Ada sebuah keinginan ketika saya suatu
saat nanti bisa fokus studi dan mengembangkan riset di sini. Kuliah di luar
negeri akan memberikan wawasan baru untuk open minded di dunia internasional
dan menjadikan kita untuk ingin selalu memberikan yang terbaik bagi bangsa
Indonesia. Melalui program homestay ini, saya pun menangkap dampak positif
bahwa inilah kesempatan saya untuk berinteraksi dan belajar langsung dari para
pelajar Indonesia yang saat ini di luar negeri. Ketika saya bertanya dengan
beberapa rekan PPIA, misalnya mbak Tri Mulyani, pelajar Indonesia di Queensland
University of Technology. “Apa yang membuat mbak Yani akhirnya memilih
Australia sebagai tempat studi lanjut ?” Beliaupun menjawab,
“Motivasinya adalah untuk memperluas cakrawala cara
berpikir dan untuk memperluas
jaringan/network. Karena Australia adalah negara yang multiculture, di negara
inilah kita bisa menimba pengalaman untuk bisa berteman dengan orang-orang dari
berbagai belahan dunia lainnya. Kita juga bisa mengerti dan menghargai
perbedaan-perbedaan dalam konteksi internasional. Sisi positifnya ya itu tadi,
ditambah karena Australia adalah negara maju maka fasilitasnya sangat mendukung
untuk kegiatan belajar mengajar.”
berpikir dan untuk memperluas
jaringan/network. Karena Australia adalah negara yang multiculture, di negara
inilah kita bisa menimba pengalaman untuk bisa berteman dengan orang-orang dari
berbagai belahan dunia lainnya. Kita juga bisa mengerti dan menghargai
perbedaan-perbedaan dalam konteksi internasional. Sisi positifnya ya itu tadi,
ditambah karena Australia adalah negara maju maka fasilitasnya sangat mendukung
untuk kegiatan belajar mengajar.”
Bersama para ketua PPI |
Mbak
Yani menambahkan bahwa keunggulan studi di sini adalah karena akses internya
cepat terhadap buku-buku dan jurnal-jurnal internasional. Mereka yang dalam
kondisi keterbatasan (difable people) pun mempunyai hak yang sama untuk
menerima fasilitas kampus. Inilah bentuk penghargaan bagi mereka, sama haknya
dengan mahasiswa pada umumnya. Meskipun kuliah menjadi tujuan utama, para
pelajar di sini diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dengan mengikuti
PPI, kegiatan Indonesian Islamic Society in Brsiabane, dan lain sebagainya. Hal
yang menjadi tantangan adalah ketika jauh dari keluarga dan belum tentu bisa
menjalani moment lebaran di rumah.
Yani menambahkan bahwa keunggulan studi di sini adalah karena akses internya
cepat terhadap buku-buku dan jurnal-jurnal internasional. Mereka yang dalam
kondisi keterbatasan (difable people) pun mempunyai hak yang sama untuk
menerima fasilitas kampus. Inilah bentuk penghargaan bagi mereka, sama haknya
dengan mahasiswa pada umumnya. Meskipun kuliah menjadi tujuan utama, para
pelajar di sini diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dengan mengikuti
PPI, kegiatan Indonesian Islamic Society in Brsiabane, dan lain sebagainya. Hal
yang menjadi tantangan adalah ketika jauh dari keluarga dan belum tentu bisa
menjalani moment lebaran di rumah.
Punya
mimpi studi di luar negeri, bagi saya harus diperjuangkan. Nilai-nilai yang
diberikan GMB melalui program homestay ini adalah sebuah akselerasi, bahwa para
pemuda di atas rata-rata sudah semestinya mencoba tantangan baru untuk
pengembangan dirinya, untuk GMB, dan untuk Indonesia. Saya teringat quote Bang Azwar
“Jejaring GMB yang besar ini tidak akan
menjadi apa-apa, tapi Anda sendirilah yang menjadikannya apa-apa.” Betapa
bersyukurnya di keluarga GMB, berada di antara orang-orang hebat di atas
rata-rata, para inspiring leaders yang benar-benar memberikan dorongan bahwa
dari background apapun kita punya kesempatan yang sama untuk belajar di luar
negeri. Saya ingin membawa misi dan nilai-nilai GMB sampai ke luar negeri. Tinggal
bagaimana kita mau dan mampu melebihkan usaha serta doa agar tidak biasa-biasa
saja. Bagi saya karena bahasa Inggrisnya masih harus banyak belajar, ketika
orang lain hanya perlu 1 jam untuk belajar, maka saya perlu 3 jam untuk bisa
fokus. Itupun perlu konsistensi dan komitmen kuat.
mimpi studi di luar negeri, bagi saya harus diperjuangkan. Nilai-nilai yang
diberikan GMB melalui program homestay ini adalah sebuah akselerasi, bahwa para
pemuda di atas rata-rata sudah semestinya mencoba tantangan baru untuk
pengembangan dirinya, untuk GMB, dan untuk Indonesia. Saya teringat quote Bang Azwar
“Jejaring GMB yang besar ini tidak akan
menjadi apa-apa, tapi Anda sendirilah yang menjadikannya apa-apa.” Betapa
bersyukurnya di keluarga GMB, berada di antara orang-orang hebat di atas
rata-rata, para inspiring leaders yang benar-benar memberikan dorongan bahwa
dari background apapun kita punya kesempatan yang sama untuk belajar di luar
negeri. Saya ingin membawa misi dan nilai-nilai GMB sampai ke luar negeri. Tinggal
bagaimana kita mau dan mampu melebihkan usaha serta doa agar tidak biasa-biasa
saja. Bagi saya karena bahasa Inggrisnya masih harus banyak belajar, ketika
orang lain hanya perlu 1 jam untuk belajar, maka saya perlu 3 jam untuk bisa
fokus. Itupun perlu konsistensi dan komitmen kuat.
Bersama mas Dudy (Presidium PPI Dunia) dan mas Taufan (Wakil Ketua PPIA) |
Dari
pertemuan luar biasa bersama para pelajar Indonesia di Australia ini, saya
belajar dari mereka yang punya tekad kuat membangun Indonesia di masa depan,
dengan menimba ilmu dan kembali ke tanah air untuk mengabdi. Teriring sebuah
doa semoga Allah Ta’ala memberikan kesempatan terbaik itu agar saya dapat
melanjutkan studi master dan doktor ke negeri impian Belanda. Man Jadda Wajada,
semua perlu diperjuangkan. Terimakasih untuk inspirasi dari homestay GMB ini !
pertemuan luar biasa bersama para pelajar Indonesia di Australia ini, saya
belajar dari mereka yang punya tekad kuat membangun Indonesia di masa depan,
dengan menimba ilmu dan kembali ke tanah air untuk mengabdi. Teriring sebuah
doa semoga Allah Ta’ala memberikan kesempatan terbaik itu agar saya dapat
melanjutkan studi master dan doktor ke negeri impian Belanda. Man Jadda Wajada,
semua perlu diperjuangkan. Terimakasih untuk inspirasi dari homestay GMB ini !
“Lokasi lahir boleh di mana saja, tetapi lokasi mimpi
harus di langit”
harus di langit”
-Anies Baswedan-
Brisbane, 19 November 2014
Janu Muhammad