“Menjadi kaum minoritas di negeri
yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama lain adalah sebuah tantangan
tersendiri untuk tetap mempertahankan sebuah keimanan. Toleransi agama yang
kuat, menjadikan kami merasa nyaman dan terhormat di sini. Batin kami tenang,
tidak ada kekhawatiran sama sekali.”
yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama lain adalah sebuah tantangan
tersendiri untuk tetap mempertahankan sebuah keimanan. Toleransi agama yang
kuat, menjadikan kami merasa nyaman dan terhormat di sini. Batin kami tenang,
tidak ada kekhawatiran sama sekali.”
Hari Jumat, 14 November 2014
adalah genap satu minggu saya di Brisbane, Australia. Beberapa hari merasakan
atmosfer baru di negeri ini telah membuka mata hati dan pikiran saya bagaimana
menjadi seorang minoritas di negeri yang mayoritas beragama nasrani ini.
Sebagai seorang muslim, tentu tidak mudah untuk tetap menjaga sholat maupun
ibadah lainnya di tengah kesibukan kegiatan homestay GMB ini. Berikut adalah
sebuah cerita hikmah, ketika kedua kalinya saya berjumpa masyarakat muslim di
Brisbane, tepatnya di Holland Park Mosque.
adalah genap satu minggu saya di Brisbane, Australia. Beberapa hari merasakan
atmosfer baru di negeri ini telah membuka mata hati dan pikiran saya bagaimana
menjadi seorang minoritas di negeri yang mayoritas beragama nasrani ini.
Sebagai seorang muslim, tentu tidak mudah untuk tetap menjaga sholat maupun
ibadah lainnya di tengah kesibukan kegiatan homestay GMB ini. Berikut adalah
sebuah cerita hikmah, ketika kedua kalinya saya berjumpa masyarakat muslim di
Brisbane, tepatnya di Holland Park Mosque.
Siang itu saya diantar Gwenda
untuk menuju masjid di Holland Park, sebuah masjid yang pernah saya kunjungi
seminggu yang lalu untuk sholat Jumat. Kami naik mobil, di jalan sempat
berhenti selama 30an menit karena macet. Bukan tanpa alasan, ini karena ada G20
Summit. Sekitar Pkl 12.45 saya tiba di depan masjid. Di sana telah berjejer
banyak mobil yang diparkir rapi, menandakan sudah cukup banyak jamaah yang
hadir. Masjid ini adalah masjid pertama yang berdiri di Australia, sejak 1908
dan direnovasi pada tahun 1970. Masjid ini selalu terbuka untuk umum setiap
saat, berbeda dengan beberapa masjid di Australia
yang hanya buka pada waktu tertentu. Beberapa fasilitas di masjid antara lain
ruang sholat yang cukup untuk sekitar 400 jamaah, ada ruang madrasah/TPA,
perpustakaan, pusat buku dan kitab, serta beberapa ruang lainnya. Selengkapnya
ada di http://hollandparkmosque.org
untuk menuju masjid di Holland Park, sebuah masjid yang pernah saya kunjungi
seminggu yang lalu untuk sholat Jumat. Kami naik mobil, di jalan sempat
berhenti selama 30an menit karena macet. Bukan tanpa alasan, ini karena ada G20
Summit. Sekitar Pkl 12.45 saya tiba di depan masjid. Di sana telah berjejer
banyak mobil yang diparkir rapi, menandakan sudah cukup banyak jamaah yang
hadir. Masjid ini adalah masjid pertama yang berdiri di Australia, sejak 1908
dan direnovasi pada tahun 1970. Masjid ini selalu terbuka untuk umum setiap
saat, berbeda dengan beberapa masjid di Australia
yang hanya buka pada waktu tertentu. Beberapa fasilitas di masjid antara lain
ruang sholat yang cukup untuk sekitar 400 jamaah, ada ruang madrasah/TPA,
perpustakaan, pusat buku dan kitab, serta beberapa ruang lainnya. Selengkapnya
ada di http://hollandparkmosque.org
Sekitar Pkl 13.00 khutbah Jumat
dimulai. Materi khutbah masih melanjutkan tentang pentingnya menjaga sholat, di
samping kewajiban mencari rezeki. Khatib berpesan melalui bahasa Inggris agar
tetap menjaga akidah, menjaga akhlak sebagai seorang muslim, itu adalah
anugerah terindah dari-Nya. Betapa bersyukurnya kita, terlahir sebagai muslim,
namun tak sedikit yang belum dapat memaknai sampai ke hati, bagaimana Islam
mengajarkan kedamaian, mengajarkan sopan santun, mengajarkan makan makanan
halal, mengajarkan adab pergaulan. Betapa harus bersyukurnya kita, ketika Tuhan
telah memberi banyak kemudahan dalam hidup, namun kita masih sering kufur. “Allah, there is no God but He, the
Ever-Living, the Self-subsisting, by whom all subsist. Help us, O Allah Help
us, and we bessech Thee not to lend (anyone) help agains us. O Allah, order our
affairs for us, and do not manipulate affairs against us. O Allah, make us
prosperous and open our hearts for Islam. You only one who know this life,
guide us to the right way.”
dimulai. Materi khutbah masih melanjutkan tentang pentingnya menjaga sholat, di
samping kewajiban mencari rezeki. Khatib berpesan melalui bahasa Inggris agar
tetap menjaga akidah, menjaga akhlak sebagai seorang muslim, itu adalah
anugerah terindah dari-Nya. Betapa bersyukurnya kita, terlahir sebagai muslim,
namun tak sedikit yang belum dapat memaknai sampai ke hati, bagaimana Islam
mengajarkan kedamaian, mengajarkan sopan santun, mengajarkan makan makanan
halal, mengajarkan adab pergaulan. Betapa harus bersyukurnya kita, ketika Tuhan
telah memberi banyak kemudahan dalam hidup, namun kita masih sering kufur. “Allah, there is no God but He, the
Ever-Living, the Self-subsisting, by whom all subsist. Help us, O Allah Help
us, and we bessech Thee not to lend (anyone) help agains us. O Allah, order our
affairs for us, and do not manipulate affairs against us. O Allah, make us
prosperous and open our hearts for Islam. You only one who know this life,
guide us to the right way.”
Saya baru kali ini mendengar
khutbah dengan bahasa Inggris secara jelas, maknanya dalam dan merasuk ke hati.
Baru kali ini, melihat para jamaah benar-benar khusyuk mendengarkan
khutbah, tidak ada yang tidur. Apakah ini yang dinamakan khusyuk ? Ketika mata,
hati, dan pikiran menjadi satu memuji nama-Nya, dan menangis memohon
ampunan-Nya. Pada doa penutup, imam sholat memimpin doa, saya tak kuasa
meneteskan air mata. Betapa rindunya saya dengan mamak dan bapak di rumah.
Betapa inginnya saya melangkahkan kaki ke masjid setiba di Indonesia nanti.
Betapa rindunya moment-moment seperti ini, ketika saya merasa bersyukur berada
di antara calon penghuni syurga. Mereka saudara baru saya di sini, yang telah
membuka hati ini untuk selalu bersyukur.
khutbah dengan bahasa Inggris secara jelas, maknanya dalam dan merasuk ke hati.
Baru kali ini, melihat para jamaah benar-benar khusyuk mendengarkan
khutbah, tidak ada yang tidur. Apakah ini yang dinamakan khusyuk ? Ketika mata,
hati, dan pikiran menjadi satu memuji nama-Nya, dan menangis memohon
ampunan-Nya. Pada doa penutup, imam sholat memimpin doa, saya tak kuasa
meneteskan air mata. Betapa rindunya saya dengan mamak dan bapak di rumah.
Betapa inginnya saya melangkahkan kaki ke masjid setiba di Indonesia nanti.
Betapa rindunya moment-moment seperti ini, ketika saya merasa bersyukur berada
di antara calon penghuni syurga. Mereka saudara baru saya di sini, yang telah
membuka hati ini untuk selalu bersyukur.
Selepas sholat Jumat, saya
bertemu dengan Pak Rasyid, warga asli Myanmar yang sudah 1 tahun tinggal di
sini. Beliau masih berstatus sebagai pengungsi yang telah mendapatkan perhatian
dari pemerintah Australia. Beliau telah berkeluarga, istri dari Indonesia dan
kini memiliki 5 anak. Dua diantaranya yang diajak adalah Khaled dan Yusuf, dua
jagoan kecil yang sholeh dan fasih berbahasa Melayu dan Inggris. Pak Rasyid
adalah orang yang berjasa bagi saya, meskipun baru saja kenal. Beliaulan orang
pertama yang menyapa saya, mengajak saya berdiskusi tentang kehidupan muslim di
sini. “We have muslim people from all the world : Indonesia, Pakistan, Africa,
Malaysia, Turki, Maroko, and others.” Sebagai seorang muslim, prinsip yang
beliau pegang teguh di sini adalah pentingnya meresapi nilai-nilai Islam secara
utuh. Beliau menyampaikan bahwa penghargaan hak beragama di sini sangat tinggi.
“Religion is the human right, we can choose it or skip it. People just to make
a tolerance.” Agama bukanlah sebuah pembatas aktivitas sehari-hari. Contohnya
ketika seorang muslim bekerja di sebuah perusahaan. Pimpinan akan menilai
seberapa konsisten kerjanya, tidak melihat darimana ia berasal, dari agama apa
ataupun suku apa. Di sini kita memperoleh hak yang sama, bahkan seorang
doktorpun bisa jadi gajinya sama dengan tukang servis pipa. Kita dihargai
karena kemampuan kita.
bertemu dengan Pak Rasyid, warga asli Myanmar yang sudah 1 tahun tinggal di
sini. Beliau masih berstatus sebagai pengungsi yang telah mendapatkan perhatian
dari pemerintah Australia. Beliau telah berkeluarga, istri dari Indonesia dan
kini memiliki 5 anak. Dua diantaranya yang diajak adalah Khaled dan Yusuf, dua
jagoan kecil yang sholeh dan fasih berbahasa Melayu dan Inggris. Pak Rasyid
adalah orang yang berjasa bagi saya, meskipun baru saja kenal. Beliaulan orang
pertama yang menyapa saya, mengajak saya berdiskusi tentang kehidupan muslim di
sini. “We have muslim people from all the world : Indonesia, Pakistan, Africa,
Malaysia, Turki, Maroko, and others.” Sebagai seorang muslim, prinsip yang
beliau pegang teguh di sini adalah pentingnya meresapi nilai-nilai Islam secara
utuh. Beliau menyampaikan bahwa penghargaan hak beragama di sini sangat tinggi.
“Religion is the human right, we can choose it or skip it. People just to make
a tolerance.” Agama bukanlah sebuah pembatas aktivitas sehari-hari. Contohnya
ketika seorang muslim bekerja di sebuah perusahaan. Pimpinan akan menilai
seberapa konsisten kerjanya, tidak melihat darimana ia berasal, dari agama apa
ataupun suku apa. Di sini kita memperoleh hak yang sama, bahkan seorang
doktorpun bisa jadi gajinya sama dengan tukang servis pipa. Kita dihargai
karena kemampuan kita.
Pertama kalinya ke Brisbane Mosque |
Selepas sholat Ashar, saya
dipertemukan Pak Rasyid dengan Pak Ali dan Pak Azhar. Beliau berdua adalah
orang Indonesia yang telah cukup lama tinggal di Brisbane. Sugguh, saya
bersyukur sekali dapat bertemu beliau. Kami saling berjabat tangan, saling
mengucap doa atas pertemuan ini. Kami kemudian duduk di samping masjid. Pak Ali
mengawali pembicaraan dengan menanyakan tujuan saya di sini. “Bapak, saya di
sini dalam rangka program homestay dari Gerakan Mari Berbagi dengan tujuan
belajar memahami keragaman budaya, pendidikan, masyarakat dan lain sebaianya
yang menjadi misi GMB,” jawab saya. Saya pun memberikan brosur GMB kepada
beliau berdua. Pak Ali, adalah warga asli Bangka Belitung yang sejak tahun 1974
hidup di sini, beliau sudah mempunyai 2 cucu, beristrikan orang Australia. Pak
Azhar, adalah seorang akademisi, yang sekarang menempuh doktor di sini. Saya
melihat beliau adalah orang penting dengan bahasa akademiknya. Saya cukup
terkejut di awal, karena beliau berdua sangat menyambut keberadaan saya di
sini, beliau berdua menganggap saya sama, tidak ada jarak apapun yang
menghalangi diskusi kami. Beliau berdua menceritakan pengalaman-pengalaman
selama tinggal di Australia, mulai dari masyarakat muslim sampai hal-hal yang
bersifat personal. “Toleransi agama di sini sangat tinggi, pemerintah
menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat mau memeluk agama atau tidak,” kata
Pak Azhar. “Asalkan kita taat dan berbuat baik, pasti tidak aka nada orang yang
berani mengganggu kita di sini,” sambung Pak Ali.
dipertemukan Pak Rasyid dengan Pak Ali dan Pak Azhar. Beliau berdua adalah
orang Indonesia yang telah cukup lama tinggal di Brisbane. Sugguh, saya
bersyukur sekali dapat bertemu beliau. Kami saling berjabat tangan, saling
mengucap doa atas pertemuan ini. Kami kemudian duduk di samping masjid. Pak Ali
mengawali pembicaraan dengan menanyakan tujuan saya di sini. “Bapak, saya di
sini dalam rangka program homestay dari Gerakan Mari Berbagi dengan tujuan
belajar memahami keragaman budaya, pendidikan, masyarakat dan lain sebaianya
yang menjadi misi GMB,” jawab saya. Saya pun memberikan brosur GMB kepada
beliau berdua. Pak Ali, adalah warga asli Bangka Belitung yang sejak tahun 1974
hidup di sini, beliau sudah mempunyai 2 cucu, beristrikan orang Australia. Pak
Azhar, adalah seorang akademisi, yang sekarang menempuh doktor di sini. Saya
melihat beliau adalah orang penting dengan bahasa akademiknya. Saya cukup
terkejut di awal, karena beliau berdua sangat menyambut keberadaan saya di
sini, beliau berdua menganggap saya sama, tidak ada jarak apapun yang
menghalangi diskusi kami. Beliau berdua menceritakan pengalaman-pengalaman
selama tinggal di Australia, mulai dari masyarakat muslim sampai hal-hal yang
bersifat personal. “Toleransi agama di sini sangat tinggi, pemerintah
menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat mau memeluk agama atau tidak,” kata
Pak Azhar. “Asalkan kita taat dan berbuat baik, pasti tidak aka nada orang yang
berani mengganggu kita di sini,” sambung Pak Ali.
Menjadi masyarakat muslim di
Brisbane bagi beliau berdua sebenarnya sangat senang. Islam telah mengajarkan
nilai-nilai dasar yang seharusnya bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari.
Contohnya, sebuah ketaatan terhadap aturan. Orang di sini ketika di traffic
light, lampu hijau berjalan, lampu merah berhenti, dan lampu kuning bersiap
berhenti. Berbeda dengan di Indonesia yang justru semuanya dianggap hijau.
Apakah kita tidak merasa malu sebagai muslim ? Di sini sebenarnya kita telah
punya nilai itu. Ketika kecil juga sudah diajarkan untuk disiplin lalu lintas.
Namun lihat, ketika justru nilai-nilai itu dihancurkan oleh para orang tuanya
sendiri. Anak didik taat lalu lintas, namun ketika membonceng sepeda motor
ayahnya yang menerobos lampu merah, nilai-nilai itu hancur.
Brisbane bagi beliau berdua sebenarnya sangat senang. Islam telah mengajarkan
nilai-nilai dasar yang seharusnya bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari.
Contohnya, sebuah ketaatan terhadap aturan. Orang di sini ketika di traffic
light, lampu hijau berjalan, lampu merah berhenti, dan lampu kuning bersiap
berhenti. Berbeda dengan di Indonesia yang justru semuanya dianggap hijau.
Apakah kita tidak merasa malu sebagai muslim ? Di sini sebenarnya kita telah
punya nilai itu. Ketika kecil juga sudah diajarkan untuk disiplin lalu lintas.
Namun lihat, ketika justru nilai-nilai itu dihancurkan oleh para orang tuanya
sendiri. Anak didik taat lalu lintas, namun ketika membonceng sepeda motor
ayahnya yang menerobos lampu merah, nilai-nilai itu hancur.
Cerita lain ketika Pak Azhar baru
saja datang di Brisbane dan pada saat itu baru ada kampanye calon anggota
parlemen, beliau diberi kesempatan langsung untuk bertemu dan menyampaikan “unek-unek
atau ususlan” kepada calon anggota dewan itu. Berbeda ya ketika di Indonesia
untuk bertemu dewan secara langsung pasti sulit karena adanya jurang
pembatas/strata sosial. Kita perlu belajar makna sebuah penghargaan di sini. “Orang-orang
di sini mas, mudah sekali mengatakan terimakasih sebagai ucapan apresiasi
setiap orang.” Sering saya jumpai, ketika ada seseorang secara tidak sengaja
menyenggol atau menghalangi arah jalan seseorang langsung orang yang disenggol
itu yang minta maaf. Tapi kenyataannya di Indonesia, bisa jadi justru langsung
marah atau mencacimaki. Mereka di sini sangat hormat, bahkan ketika keluar buus
pun wajib mengatakan “thank you”. Penghargaan atas jasa orang lain inilah yang
membuat adanya kedekatan dan membuang jauh-jauh strata sosial di sini.
saja datang di Brisbane dan pada saat itu baru ada kampanye calon anggota
parlemen, beliau diberi kesempatan langsung untuk bertemu dan menyampaikan “unek-unek
atau ususlan” kepada calon anggota dewan itu. Berbeda ya ketika di Indonesia
untuk bertemu dewan secara langsung pasti sulit karena adanya jurang
pembatas/strata sosial. Kita perlu belajar makna sebuah penghargaan di sini. “Orang-orang
di sini mas, mudah sekali mengatakan terimakasih sebagai ucapan apresiasi
setiap orang.” Sering saya jumpai, ketika ada seseorang secara tidak sengaja
menyenggol atau menghalangi arah jalan seseorang langsung orang yang disenggol
itu yang minta maaf. Tapi kenyataannya di Indonesia, bisa jadi justru langsung
marah atau mencacimaki. Mereka di sini sangat hormat, bahkan ketika keluar buus
pun wajib mengatakan “thank you”. Penghargaan atas jasa orang lain inilah yang
membuat adanya kedekatan dan membuang jauh-jauh strata sosial di sini.
Jiwa saya tenang bersama saudara muslim di sini |
Hal lain, tentang makna sebuah
konsistensi di sini. Pemerintah secara konsisten memberi pelayanan terbaim bagi
masyarakatnya, sekolah gratis, kesehatan gratis, semua demi kenyamanan warga. Msyarakatnya
pun mendukung penuh setiap program ataupun kebijakan dari pemerintah. Ketika
melihat sisi di Indonesia, lihatlah contoh sebuah peraturan “Dilarang merokok
di sini, bisa dikenai denda sekian juta rupiah bahkan miliar.” Lalu apa yang
terjadi ? Masih ada ya si anggota dewan yang justru melanggarnya, justru
merokok di ruang sidang. Apakah itu yang dinamakan konsistensi ? Peraturan
dibuat untuk ditaati, bukan untuk dilanggar sendiri. “Orang-orang kita itu aneh
mas, banyak aturan, banyak juga yang dilanggar.” Coba belajar dari masyarakat
sini yang taat aturan, makanya saya merasa nyaman dan aman di sini. Kata Pak
Ali.
konsistensi di sini. Pemerintah secara konsisten memberi pelayanan terbaim bagi
masyarakatnya, sekolah gratis, kesehatan gratis, semua demi kenyamanan warga. Msyarakatnya
pun mendukung penuh setiap program ataupun kebijakan dari pemerintah. Ketika
melihat sisi di Indonesia, lihatlah contoh sebuah peraturan “Dilarang merokok
di sini, bisa dikenai denda sekian juta rupiah bahkan miliar.” Lalu apa yang
terjadi ? Masih ada ya si anggota dewan yang justru melanggarnya, justru
merokok di ruang sidang. Apakah itu yang dinamakan konsistensi ? Peraturan
dibuat untuk ditaati, bukan untuk dilanggar sendiri. “Orang-orang kita itu aneh
mas, banyak aturan, banyak juga yang dilanggar.” Coba belajar dari masyarakat
sini yang taat aturan, makanya saya merasa nyaman dan aman di sini. Kata Pak
Ali.
Pengalaman Pak Azhar ketika
pulang ke Indonesia dan akan menyekolahkan anaknya menjadi pelajaran hidup.
Ketika itu beliau ingin mendaftarkan anaknya sekolah, banyak tahapan yang harus
diproses, syarat yang macam-macam samoai akhirnya beliau angkat tangan dan
kembali ke Australia. Di sini, beliau langsung menghubungi sekolah dan membawa
persyaratan dokumen lalu menerma jawaban dari staf sekolah, “Sebenarnya Anda
tidak perlu menyiapkannya sendiri, biar kami yang urus dan anak Anda bisa
langsung masuk kelas, kami utamakan untuk segera masuk kelas.” Pelajaran bagi
birokrasi di Indonesia yang masih cukup berbeli-belit.
pulang ke Indonesia dan akan menyekolahkan anaknya menjadi pelajaran hidup.
Ketika itu beliau ingin mendaftarkan anaknya sekolah, banyak tahapan yang harus
diproses, syarat yang macam-macam samoai akhirnya beliau angkat tangan dan
kembali ke Australia. Di sini, beliau langsung menghubungi sekolah dan membawa
persyaratan dokumen lalu menerma jawaban dari staf sekolah, “Sebenarnya Anda
tidak perlu menyiapkannya sendiri, biar kami yang urus dan anak Anda bisa
langsung masuk kelas, kami utamakan untuk segera masuk kelas.” Pelajaran bagi
birokrasi di Indonesia yang masih cukup berbeli-belit.
Melihat makna perbedaan di sini
belum lengkap rasanya tanpa melihat sisi sosial masyarakat di sini. “Mas, coba
lihat orang di depan itu yang baru saja keluar mobil, mas pasti tidak menyangka
kalau dia itu doctor, orang yang menyapa kita tadi adalah ustadz terkemuka di
sini, orang penting.” Mereka biasa-biasa saja mas, berpakaian sederhana, bahkan
mobilnya juga biasa saja, tidak terbayang kan kalau mereka itu orang dengan pencapaian
akademik tinggi. Inilah sisi positifnya, antara si doktor atau ustadz ataupun
masyarakat biasa sama-sama hidup berdampingan, mereka pakai pakaian yang sama,
tidak terkesan mewah ataupun ingin dipuji mas. Bagi kami, pujian akan pencapaian
seseorang itu memang perlu, tapi kitanya yang harus tetap jadi orang biasa dan
sederhana. Coba lihat sikap Pak Ahok sebagai gubernur Jakarta yang baru, dia
tidak mau kan menerima penghargaan sebagai ini itu. Karena memang beliau merasa
“Saya ini hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, tidak perlu dapat
pujian ini itu, biarkan saya bekerja dulu.”
belum lengkap rasanya tanpa melihat sisi sosial masyarakat di sini. “Mas, coba
lihat orang di depan itu yang baru saja keluar mobil, mas pasti tidak menyangka
kalau dia itu doctor, orang yang menyapa kita tadi adalah ustadz terkemuka di
sini, orang penting.” Mereka biasa-biasa saja mas, berpakaian sederhana, bahkan
mobilnya juga biasa saja, tidak terbayang kan kalau mereka itu orang dengan pencapaian
akademik tinggi. Inilah sisi positifnya, antara si doktor atau ustadz ataupun
masyarakat biasa sama-sama hidup berdampingan, mereka pakai pakaian yang sama,
tidak terkesan mewah ataupun ingin dipuji mas. Bagi kami, pujian akan pencapaian
seseorang itu memang perlu, tapi kitanya yang harus tetap jadi orang biasa dan
sederhana. Coba lihat sikap Pak Ahok sebagai gubernur Jakarta yang baru, dia
tidak mau kan menerima penghargaan sebagai ini itu. Karena memang beliau merasa
“Saya ini hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, tidak perlu dapat
pujian ini itu, biarkan saya bekerja dulu.”
Cukup lama saya emndapat sharing
pelajaran hidup dari Pak Ali dan Pak Azhar, bahwa hidup di sini ada manis dan
pahitnya. Manis ketika kita merasa nyaman, pahit ketika kadang-kadang dapat
fitnah seperti aksi vandalism di masjid orang Indonesia di Brisbane dua bulan
kemarin.
pelajaran hidup dari Pak Ali dan Pak Azhar, bahwa hidup di sini ada manis dan
pahitnya. Manis ketika kita merasa nyaman, pahit ketika kadang-kadang dapat
fitnah seperti aksi vandalism di masjid orang Indonesia di Brisbane dua bulan
kemarin.
Ketika saya bertanya,”Apa yang
membuat Bapak berdua betah tinggal di sini?” Pak Ali menjawab, “Saya
sesungguhnya hanya perlu kebahagiaan hidup, ketenangan batin untuk hidup.”
Ketika di sini, saya tidak perlu khawatir dengan keselamatan saya. Contohnya,
di Indonesia ketika pulang malam pakai mobil, pasti kita akan takut atau
khawatir akan kriminal. Ketika di jalan pun khawatir mobilnya dicoret oleh
pengemis atau preman. Ketika di sini, saya bisa beribadah dengan khusyuk tanpa
kekhawatiran, saya merasa aman dan nyaman hidup di sini. Kalau saja di sana
seperti ini, saya akan memilih tinggal di Indonesia. Pak Azhar menambahkan,”Sejujurnya
saya ingin pulang mas, namun kualitas hidup di sini jauh lebih baik, saya tetap
cinta Indonesia mas sampai kapanpun.” “Menjadi kaum minoritas di negeri
yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama lain adalah sebuah tantangan
tersendiri untuk tetap mempertahankan sebuah keimanan. Toleransi agama yang
kuat, menjadikan kami merasa nyaman dan terhormat di sini. Batin kami tenang,
tidak ada kekhawatiran sama sekali.”
membuat Bapak berdua betah tinggal di sini?” Pak Ali menjawab, “Saya
sesungguhnya hanya perlu kebahagiaan hidup, ketenangan batin untuk hidup.”
Ketika di sini, saya tidak perlu khawatir dengan keselamatan saya. Contohnya,
di Indonesia ketika pulang malam pakai mobil, pasti kita akan takut atau
khawatir akan kriminal. Ketika di jalan pun khawatir mobilnya dicoret oleh
pengemis atau preman. Ketika di sini, saya bisa beribadah dengan khusyuk tanpa
kekhawatiran, saya merasa aman dan nyaman hidup di sini. Kalau saja di sana
seperti ini, saya akan memilih tinggal di Indonesia. Pak Azhar menambahkan,”Sejujurnya
saya ingin pulang mas, namun kualitas hidup di sini jauh lebih baik, saya tetap
cinta Indonesia mas sampai kapanpun.” “Menjadi kaum minoritas di negeri
yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama lain adalah sebuah tantangan
tersendiri untuk tetap mempertahankan sebuah keimanan. Toleransi agama yang
kuat, menjadikan kami merasa nyaman dan terhormat di sini. Batin kami tenang,
tidak ada kekhawatiran sama sekali.”
Lewat perbincangan hangat ini,
kami tidak sadar telah menghabiskan waktu sejak jam 2an sampai jam 6 menjelang
Maghrib. Saya pun berterimakasih atas silaturahmi beliau berdua, atas sharing
pelajaran hidup ini. Selepas Maghrib, saya diajak Pak Ali ke rumah beliau,
sekitar 2 km dari masjid. Saya bertemu istrinya yang asli orang Australia dan
telah menjadi muslimah. Pak Ali pun memberi hidangan makan malam. Saya
bersyukur, malam itu begitu spesial, penuh pembelajaran. Bertemu masyarakat
muslim di Masjid Holland Park bagi saya adalah pengalaman baru, menegtahui
kehidupan langsung masyarakan muslim dari berbagai etnis yang telah menjadi
kesatuan membentuk komunitas di tengah multikulturalnya Brisbane. Terimakasih
Pak Rasyid, Pak Azhar, Pak Ali, dan beberapa kenalan saudara baru di masjid
Holland Park. Telah saya temukan sisi kehidupan muslim di sini bersama sikap
toleransi dan keterbukaan warga Australia di sini.
kami tidak sadar telah menghabiskan waktu sejak jam 2an sampai jam 6 menjelang
Maghrib. Saya pun berterimakasih atas silaturahmi beliau berdua, atas sharing
pelajaran hidup ini. Selepas Maghrib, saya diajak Pak Ali ke rumah beliau,
sekitar 2 km dari masjid. Saya bertemu istrinya yang asli orang Australia dan
telah menjadi muslimah. Pak Ali pun memberi hidangan makan malam. Saya
bersyukur, malam itu begitu spesial, penuh pembelajaran. Bertemu masyarakat
muslim di Masjid Holland Park bagi saya adalah pengalaman baru, menegtahui
kehidupan langsung masyarakan muslim dari berbagai etnis yang telah menjadi
kesatuan membentuk komunitas di tengah multikulturalnya Brisbane. Terimakasih
Pak Rasyid, Pak Azhar, Pak Ali, dan beberapa kenalan saudara baru di masjid
Holland Park. Telah saya temukan sisi kehidupan muslim di sini bersama sikap
toleransi dan keterbukaan warga Australia di sini.
“Hidup berdampingan dengan umat agama lain telah membawa diri kita
untuk semakin bersyukur menerima kenyataan hidup. Bukan hanya bisa menerima,
tetapi juga melakukan yang terbaik atas kesempatan yang Tuhan berikan kepada
kita untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitar.”
untuk semakin bersyukur menerima kenyataan hidup. Bukan hanya bisa menerima,
tetapi juga melakukan yang terbaik atas kesempatan yang Tuhan berikan kepada
kita untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitar.”