sosok Mas M.Iman Usman yang saat ini sedang kuliah di Columbia
University. Saya pun terinspirasi untuk menulis sebuah refleksi
perjlanan hidup yang akan berguna untuk mengevaluasi perjalanan masa
lalu, kini, dan mempersiapkan hari esok. Tulisan sederhana ini semoga
dapat memberi gambaran bagaimana seorang Janu mempunyai mimpi besar
untuk Indonesia di masa depan.
Kini saya berusia 21 tahun lebih 11 bulan, artinya bulan besok sudah
genap 22 tahun. Ketika mendengar nama Janu Muhammad, banyak yang
bertanya apakah saya lahir bulan Januari ? Tentu jawabannya iya (sudah
saya tulis di depan soalnya). Asal kata ‘Janu’ sebenarnya bukan
pemberian dari orang tua saya, entah mengapa. Bahkan yang memberi nama
saya adalah bibi saya sendiri. Barangkali pada saat itu mamak dan bapak
tidak mempermasalahkan sebuah nama apa yang cocok bagi anak laki-laki
pertamanya ini. Yang penting simple, mudah diingat. Tentang nama
‘Muhammad’, terinspirasi dari Rasulullah, nabi yang menjadi suri teladan
bagi seluruh umat, pemimpin bijaksana, jujur, dan amanah. Berat
sebenarnya diamanahi nama ini karena konsekuensi yang harus saya
laksanakan. Orang tua saya cukup religious sehingga nama ‘Muhammad’
menjadi sebuah doa agar kelak saya menjadi seorang pemimpin yang amanah
dan mempunyai sifat yang diajarkan nabi.
memanggil ‘Yanu’. Biasanya beliau-beliau para simbah yang sulit menyebut
huruf ‘J’ biasa memanggil saya Yanu, lebih mudah. Pada saat SD, SMP,
SMA, hingga saat ini nama tunggal saya tetap Janu, tidak ada nama
samaran atau nama lain yang lebih familiar. Bagi putra asli suku Jawa
dan asli Jogja seperti saya ini, kadang-kadang dapat tambahan ‘Mas’ di
depan kata ‘Janu’ sebagai penghormatan dari muda ke yang tua. Realita
yang terjadi ternyata, dari yang tua pun memanggil saya dengan ‘Mas
Janu’, padahal saya lebih muda. Entah karena itu sebuah rasa hormat atau
karena raut wajah saya yang memang lebih tua (lebih dewasa tepatnya).
Pengalaman dulu waktu semester 3 ketika ada mahasiswa baru bertanya,
“Masnya angkatan 2008 ya?” wah ini parah bener si maba, masak ya 3 tahun
lebih tuaa. Bahkan ketika masuk ke bank, sejak SMA saya sudah dipanggil
‘Pak Janu’ padahal ya pakai seragam SMA, mungkin mbaknya hanya
memperhatikan wajah ya ? Sudah yang penting disyukuri, banyak yang
mengatakan saya memang cenderung dewasa duluan, secara tanggung jawab
maksudnya.
bapak Ngadiyo. Tumbuh dan dibesarkan di Dusun Ngemplak, Caturharjo,
Sleman, sebuah daerah di Kabupaten Sleman sisi barat, berbatasan dengan
Magelang. Saya biasa memanggil ibu dengan sebutan ‘mamak’ dan ayah
dengan ‘bapak’. Beliau berdua adalah orang tua hebat yang tiap hari
berjuang mencari sesuap nasi di pasar. Ya, keluarga kami adalah keluarga
pedagang. Hal ini berawal ketika mamak pada masa remaja sekitar 15an
tahun sudah mulai berdagang ayam. Simbah lah yang mengajarkan beliau
untuk mandiri, sehingga mamak tidak sempat menamatkan SD dan berjuang
membiayai paman saya yang kini sudah bergelar Kapten Drs. Daroji dan
bermarkas di Kostrad TNI AD di Jakarta (dekat monas). Mamak saya sejak
muda sudah banting tulang bekerja demi keluarganya, beliau anak ke 8
kalau tidak salah. Bapak, seorang tukang bangunan yang berhenti sekolah
di kelas 3 SD, itu juga karena demi membiayai adik perempuannya. Beliau
anak ke-2 dari 4 bersaudara. Entah bagaimana ceritanya mamak dan bapak
bertemu, beliau adalah tetangga desa dan biasalah kalau orang terdahulu
akhirnya langsung nikah. Yang perlu dicatat ketika saya mendengar cerita
cinta mamak-bapak, mereka sama sekali tidak pacaran. Bapak langsung melamar mamak karena ya memang saling percaya.
Berhubung background keluarga mamak religious, akhirnya bapak menjadi
sangat religious dan taat beribadah. Saya mempunyai seorang adik
perempuan, namanya Isti. Dia lahir ketika saya berusia 8 tahun, ketika
kelas 2 SD.
sungguh mulia. “Yang penting anak saya bisa sekolah, tidak ada kendala
untuk sekolah dan baca buku, saya akan bekerja keras demi kesuksesan
putra-putri saya”. Kalimat itulah yang mewakili keseharian orang tua
saya, yang tiap hari bekerja di pasar sebagai pedagang cabe. Bangun jam 3
malam, Subuhan lalu ke pasar, pulang jam 2 siang, ‘kulakan’ atau beli
dagangan jam 3 sore dan tidur jam 11 malam. Hanya tersisa 4 jam untuk
istirahat. Kalau saat-saat seperti ini dagangan di rumah bisa beberapa
kuintal dan kami harus lembur. Ada sebuah pancaran semangat yangs
saya rasakan, sebuah tanggung jawab besar pula agar saya ikut merasakan
perjuangan hidup ini dan tidak menyia-nyiakannya. Jujur, mamak dan
bapak menginginkan saya menjadi seorang sarjana bahkan professor, dan
menjadi seorang PNS. Itu harapan besar orang tua saya, tetapi ada sebuah
mimpi agar kelak saya juga membuka sebuah usaha, syukur-syukur bisa
membuka toko dan sentra sayuran untuk mengembangkan usaha keluarga.
Sejak kecil pun saya dibiasakan untuk mengaji selepas Maghrib. Teringat
pertama kali saya ikut TPA di masjid Nurul Huda, dusun di mana simbah
tinggal. Saya waktu itu kelas 2 SD dan menangis ketika diminta mengaji.
Saya takut dan malu karena belum bisa apa-apa. Saya tiap 3 hari dalam
seminggu mengikuti TPA, mengayuh sepeda dari rumah. Lumayan jauh, namun
saya akhirnya berani, dan tumbuhlah sebuah ‘kemandirian’ untuk saya dan
adik. Kami terbiasa untuk mengurus persiapan sekolah sendiri, mencuci
baju sejak SD juga sendiri, menyetrika sendiri, bahkan kebersihan rumah
pun menjadi tanggung jawab saya dan adik. Ada sebuah latihan yang
diberikan orang tua agar tidak bergantung pada orang lain dan ‘peka’
bahwa orang tua sudah bekerja keras dan perlu untuk dibantu. Tidak heran
jika pada akhirnya Allah memberikan kesempatan saya meraih Juara 1
Pemilihan Anak Sholeh Berprestasi se-TPA Nurul Huda. Ada rasa syukur
karena di usia 13 tahun saya sudah memegang piala pertama.
perjalanan seorang Janu Muhammad selama ini. Pertama, ketika pada usia
SD saya sering menjadi ketua kelas, pertama kalinya Juara 3 Olimpiade
Matematika se-Kecamatan Sleman dan di akhir kelulusan meraih predikat
lulusan terbaik. Saya pun langsung diterima di SMP N 1 Sleman tanpa tes.
Ada sebuah tempaan di mana saya memasuki fase baru, mengenyam
pendidikan di sekolah favorit dan andalan Kabupaten Sleman. Tetapi, ada
sebuah karakter yang masih melekat saat itu yaitu ‘rasa malu’ bertemu
orang baru. Saya masih minder dan sangat pendiam.
diterima sebagai pengurus OSIS dan Dewan Penggalang. Sebuah tanggung
jawab baru di bidang organisasi yang sama sekali belum saya rasakan
sebelumnya. Apa yang terjadi ? Organisasilah yang akhirnya menjadi batu
loncatan untuk berubah total ke arah lebih baik. Saya belajar bagaimana
cara berkomunikasi, terbuka menyampaikan pendapat, menuangkan ide, dan
berinteraksi dengan orang-orang luar. Akhirnya, saya berani menyampaikan
pertanyaan dan pendapat dalam setiap diskusi. Jiwa saya menjadi lebih
terbuka terhadap orang luar. Fisik saya pun ditempa lewat keaktifan di
Pasukan Inti (baris-berbaris). Namun satu prinsip yang saat itu masih
sangat melekat : saya harus tetap menjadi agama dan interaksi terhadap
lawan jenis, sehingga banyak teman yang menilai saya sok alim. “Biarkan
saja, Allah yang Maha Tahu” kata mamak.
terlalu mengecewakan, saya meraih nilai 36,95 atau rata-rata 9,238.
Nilai itulah yang menjadi modal awal saya untuk masuk SMA N 2
Yogyakarta, sekolah favorit dan dulu kata banyak orang sekolah negeri
namun agamis. Ketertarikan saya di SMADA bermula ketika melihat Pasukan
Intinya. Saya ingin bergabung bersama mereka. Alhamdulillah, saya
diterima di rangking 6. SMADA, menjadi tempat yang membentuk kepribadian
saya matang, ketika diamanahi menjadi ketua Rohis Kharisma, di MPK,
Pasukan Inti, ketua Kelompok Imiah Remaja, dan berbagai organisasi luar
sekolah yang benar-benar mengubah pandangan saya ke arah masa depan.
Kami dididik untuk menjadi manusia bermanfaat dan berguna untuk
Indonesia kelak. “Dengarkanlah derap kami, pemuda harapan bangsa, SMA
Negeri 2 jaya selamanya..”petikan mars SMADA. Namun untuk lulus dari
kelas IPA bagi saya sangat sulit. Saya yang telah ‘terlanjur’ menjadi
aktivis organisasi menyadari sepenuhnya banyak waktu yang saya curahkan
untuk organisasi dan akhirnya nilai akademik menurun. Pengalaman paling
berkesan hingga membawa saya ke level nasional adalah ketika mengikuti
Pesantren Kilat Nasional yang diadakan oleh Kementerian Agama RI di
Malang. Sanlatnas itu untuk beberapa sekolah bertaraf internasional dan
memang pilihan, pesertanyapun pilihan. Saya mulai mengenal beberapa
teman dari provinsi lain dan akhirnya terhubung sampai sekarang. Saya
lulus dari SMA dengan predikat pas-pasan, dengan rasa syukur telah lulus
dari IPA dan menuju peralihan ke IPS, saya mengambil geografi sebagai
konsentrasi bidang di perkuliahan.
prestasi (undangan). Alhamdulillah diterima sekolah tanpa tes terus. Di
perkuliahan saya lebih fokus untuk berorganisasi yang satu visi dengan
masa depan saya untuk menjadi seorang dosen dan peneliti. Aktivitas di
perkuliahan pun saya habiskan untuk kuliah, aktif di UKMF Penelitian
SCREEN, dan beberapa organisasi yang memang ranahnya riset dan akademik.
Saya mulai menanamkan bahwa saya harus fokus dan tidak ingin menjadi
aktivis dengan nilai buruk . Saya ingin menjadi aktivis berprestasi,
lulus kurang dari 4 tahun, dapat beasiswa, dan rutin menulis serta
belajar bahasa inggris. Teringat pesan mas Anies Baswedan kakak alumni
saya SMA “3 kunci agar Anda diperhitungkan dunia : organisasi, menulis,
dan bahasa inggris”. Ya, saya memegang prinsip itu hingga saat ini.
Alhamdulillah, di tahun ketiga dapat mempersembahkan kado untuk mamak
dan bapak, sebuah pencapaian prestasi yang menjadi akumulasi perjuangan
selama ini. Kalau ada yang bertanya : seorang Janu apakah pernah ada
masalah, sedih, dan gundah di dalam kamar ? Jelas pernah, namanya juga
manusia. Tetapi ya prinsipnya ‘move on’, dekatlah pada Allah maka Allah
akan dekat dengan kita. Masalah akan datang karena Allah sedang menguji
seberapa besar kesabaran, kesetiaan kepada-Nya, dan kesungguhan dalam
berjuang. Barangkali niat kita dalam bermimpi masih kurang lurus, maka
perbanyaklah Dhuha, Tahajud, dan amalan sunah lainnya, namun tetap
dijaga juga ibadah wajibnya.
Kelima, pengalaman pergi ke luar negeri adalah milestone saya, yang
membuka mata hati dan pikiran bahwa dunia ini luas. Saya sebagai calon
geograf akan dihadapkan pada banyak permasalahan yang mengharuskan saya
peka, kritis, dan mau mengambil bagian dari solusi. Melihat kondisi
demikian, pengalaman mengikuti kuliah singkat di Belanda dan 3 minggu
hidup di Australia semakin membuka wawasan saya bahwa saya harus berbuat
sesuatu untuk lingkungan di mana saya tinggal. Saya harus memberikan
sebuah ‘tanggung jawab’ dari beasiswa yang diberikan pemerintah selama
kuliah ini. Akhirnya, 19 Januari 2014 menjadi titik awal saya merintis
pendirian Omah Baca Karung Goni yang merupakan bantuan dari
mahasiswa-mahasiswa UGM. Saya pun menangkap bahwa pendidikanlah yang
menajdi kunci utama untuk memajukan kualitas suatu bangsa dimulai dari
warga negaranya. Mulai dari hal-hal kecil menjadi pustakawan muda, saya
berlatih bagaimana ilmu yang selama ini saya dapatkan dapat bermanfaat.
Saya masih mempunyai cita-cita besar agar esok dapat mendirikan sebuah
taman baca yang luas dan mandiri.
kaya akan sumber daya alamnya. Saya bersykur lahir dan besar di negeri
ini, terlebih di Yogyakarta tercinta. Orang-orangnya ramah dan
sederhana. Saya bersyukur mempunyai keluarga yang saling mendukung,
bapak mamak dan adek yang selalu rukun. Saya menghargai jerih payah
mereka untuk putra sulungnya ini.
untuk mereka, mengangkat derajat keluarga ini. Saya masih mempunyai
mimpi untuk naik haji bersama keluarga yang saya cintai. Saya ingin
menjadi seorang pendidik bagi generasi di Indonesia. Itulah sebuah
rencana saya untuk lebih menghargai negeri ini, untuk menjunjung tinggi
harkat dan martabat negeri ini.
Ada sebuah optimisme bahwa 20-30 tahun ke depan Indonesia
akan jauh lebih maju, tidak ada lagi korupsi, tidak ada lagi ancaman
teroris, semuanya hidup rukun dan nyaman. Namun, itu semua tidak akan
terjadi jika anak muda hanya duduk diam menunggu sebuah perubahan. Anak
muda seperti saya dan Anda harus merencanakannya dari sekarang, berkolaborasi
dengan pemuda-pemudi lainnya. Seperti zaman-zaman ketika Sumpah Pemuda
akan dikumandangkan, ketika kemerdekaan juga akhirnya dapat ditegakkan.
Apakah semua yakin akan terjadi ? Tentu!
“Kalau semangat hidup hanya biasa-biasa saja, ya hasilnya
biasa saja. Coba lebihkan usaha dan doa, pasti akan luar biasa
hasilnya.”
Ini bukan sebuah khayalan, ini adalah sebuah mimpi besar yang dapat
diwujudkan. Ya, salah satu jalannya adalah dengan menempuh pendididikan
tinggi dan membuat sebuah perubahan dari yang kecil. Semoga, kelak Allah
mengizinkan saya untuk melanjutkan studi ke luar negeri, merantau dan
menimba ilmu seluas-luasnya dan kembali ke tanah air untuk mendidik
serta mendedikasikan diri di kampung halaman. Kalau sudah optimis, mari
susun strategi dan berjuang menjemputnya!
Terimakasih Ya Allah, atas segala nikmatmu ini. Semoga di usia 22
nanti senantiasa menjadi hamba yang bermanfaat dan berusaha menjadi
putra terbaik yang sholeh seperti yang mamak harapkan. Semoga keluarga
kami senantiasa dalam keridhoan-Mu. Terimakasih untuk keluarga, dan
sahabat sekalian, mohon maaf jika selama ini ada khilaf dari saya.
Semangat membuat Indonesia tersenyum ^^
Janu Muhammad
4 Comments. Leave new
wah sangat inspiratif mas ceritanya, salam kenal mas janu!:)
salam kenal mbak winda ayu,terimakasih sudah berkunjung 🙂 smoga bermanfaat
Senang bisa berteman baik dengan mas Janu. Horas mas! 🙂
Halo bang Soni ! Waahh terimakasih sudah menjadi sahabat baik selama ini. Salam berbagi! Makasih bang udah mampir blog sderhana ini 🙂