yang spesial datang jauh-jauh dari negeri kincir angin. Beliau adalah
Dr. Brian Doucet, salah satu dosen dari Department of Human Geography
and Planning, Faculty of Geosciences, Utrecht University, Netherlands.
Beliau bukan orang asli Belanda, namun keturunan Kanada dan saat ini
meniti karir di Belanda. Ada keharuan ketika saya bertemu beliau,
senang, bersyukur, bahkan ingin nangis malahan. Sebuah jabat tangan dan
satu pelukan telah mengobati rasa rindu, kami sudah lama sekali tidak
berjumpa, semenjak kali pertama bertemu di program Summer School Utrecht
tahun 2013 lalu. Pak Brian, begitu saya sapa menunjukkan rasa senangnya
mendarat di Indonesia, negeri pertama yang ia kunjungi di Asia. Betapa
bahagianya malam itu, saya dapat bertemu langsung seorang tokoh
inspirator, teman, bahkan sosok yang selalu memberikan dorongan dan
motivasi ketika saya selama ini. Mulai Senin tanggal 13 sampai Jumat
tanggal 17 beliau akan mengisi kuliah umum di jurusan Pendidikan
geografi FIS UNY.
Jogjakarta Plaza Hotel (JPH) dengan naik taksi, apa yang terjadi ?
Suasana Sabtu malam itu benar-benar crowded. Jalanan macet, penuh sepeda motor, dan mobil tentunya. “This is the weekend condition in Jogja. Brian. Don’t be surprised if traffic jam is horrible, just be patient” kata saya di mobil. Beliau hanya membalas dengan senyuman dan kalimat simple “It’s okay, I know that almost of people drive their motorcycle.”
Dalam batin saya, pasti orang ini kaget ya dengan kondisi di Belanda
yang orang-orangnya pakai sepeda dan tertib-tertib, jarang sekali ada
macet. Kami melanjutkan perjalanan ke JPH dan sesampainya di sana sudah
ada temen saya Ebi dan satu temannya. “Welcome to Jogja” sapa kami di lobby room. Kami berbincang sebentar kepada beliau bagaimana perjalanannya, dan akhirnya mengantar ke kamar 145 di first floor. Malam itu kami pamit pulang dan akan bertemu Minggu paginya.
tapi ya kadang-kadang lupa juga kalau pas terselip atau jatuh dari saku
baju. Pagi itu kami ada agenda yang akan sangat menantang, Jogjakarta
City Tour. Iya, kami akan berkeliling Jogja bersama Pak Brian. Ada
Agung, Ipul, Fadhil, saya, Pak Brian, dan seorang driver Pak Parjiman yang siap menuju Gunung Merapi, Candi Prambanan, dan Kawasan Malioboro.
Hal menarik pagi itu adalah : cara berpakaian Pak Brian yang lebih santai, enjoy, dan tidak terlalu tertutup (celana seukuran dengkul).
Beda ya dengan kami berempat yang lebih tertutup, lengan panjang, dan
celana panjang, barangkali khawatir tambah menghitam dan panas. Ini
kebiasaan sebagian orang Indonesia ya kalau summer sama aja pakaiannya, beda sama orang bule.
kemudian menikmati perjalanan ke tujuan pertama, gunung Merapi.
Sepanjang perjalanan, terlihat suasana Jogjakarta yang sudah menampakkan
hiruk pikuknya di weekend. Bebarapa motor terlihat menuju
pasar dan tentunya rumah makan. Pagi itu juga ada beberapa sepeda yang
melintas, menandakan kebiasaan hari Minggu pagi untuk bersepeda. Udara
pagi itu pun masih terasa segar, di sebelah utara telah tampak sebuah
gunung yang menemani kehidupan masyarakat Yogyakarta. Ketika melintasi
jalan Kaliurang, Pak Brian sempat heran, pagi-pagi seperti ini biasanya
di Belanda jalanan kosong, bahkan orang-orang masih di dalam rumah dan
enggan keluar. Coba lihat di Indonesia, kapan pun di jalanan selalu
terisi, entah itu pejalan kami, pesepeda, atau pengendara motor. Inilah
cermin bonus demografi, yang di tempat kita selalu bertambah dan
dipastikan tidak kekurangan SDM. Jadi, beda juga ya kebiasaan short
weekend di hari Sabtu dan Minggu antara di Belanda dan Indonesia. Kalau
menurut saya ada kesamaannya juga, yaitu sama-sama ada best moment bersama keluarga.
menit kami telah sampai di kawasan Merapi Lava Tour, Dusun Kinahrejo
tempatnya mbah Maridjan. Alhamdulillah, terlihat pucuk Gunung Merapi
yang gagah dan tampak cerah. Pak Brian amazed banget melihat
Merapi. Kameranya sudah mulai jalan untuk memotret gambar terbaik pagi
itu. Kami coba menjelaskan kronologi erupsi 2010 dan ada memori yang
membuat saya pribadi ‘trauma atau takut’ kejadian itu terulang. Namun,
itulah suara alam, siklus yang pasti akan terjadi lagi. Setelah melihat
beberapa spot, ada masjid yang sedang direnovasi, ada joglo baru, ada
museum tempat barang-barang saksi erupsi tersimpan, ada kali Opak di
sebelah timur dan tak lupa kami mengabadikan moment pagi menjelang itu.
Hal
unik yang saya jumpai : kebiasaan kita yang sering maunya difoto, bukan
memfoto. Coba lihat biasanya orang bule fotonya pasti pemandangan alam,
jarang ya yang selfie #CumadiIndonesia
merasa cukup, jalan naik turun lumayan jauh akhirnya kami kembali ke
mobil. Kami bersiap menuju Candi Prambanan. Rute yang kami lewati adalah
di area desa dan entah bagaimana tiba-tiba sampai juga. Mungkin saking
tidak terasa karena ketika di mobil ngobrol ngalor ngidul dengan Pak
Brian. Tentu yang ada kaitannya dengan perjalanan ini. Beliau interested
banget ketika di Merapi tadi. Apalagi ketika kami berikan sebuah album
foto tentang erupsi 2010.
sebuah kenangan bagi saya pribadi. Barangkali ini kali ke-3 saya dapat
berkunjung di sini. Semenjak pertama kalinya waktu TK apa ya ? Candi
Prambanan cukup banyak perubahan. Gempa 2010 yang meluluhlantahkan Jogja
setidaknya telah meruntuhkan sebagian sisiwa candi, bahkan ada yang
stupanya jatuh. Kembali lagi melihat kesan pertama Pak Brian, “Woderful
temple, I just look at first time”. Ternyata beliau baru pertama kalinya
melihat bangunan Hindhu seperti ini. Kami kemudian masuk (setelah beli
tiket) dan mengitari sisi-sisi candi. Suasana siang itu lumayan panas
(banget). Tetep disyukuri ya, minimal katanya bisa nambah vitamin D.
Padahal saya sudah pakai topi, lengan panjang, dan baju non hitam. Saya
sudah memberi pesan beliau untuk memakai lotion anti panas (sun block)
dan sepertinya sudah bawa dari Eropa sana.
Kebiasaan
yang saya lihat setelah mengamati cara jalan orang luar dan Indo “Orang
luar cenderung jalan cepet dan sesegera mungkin sampai di lokasi” beda
dengan sebagian dari kita yang “mlipir” atau sering mampir untuk beli
minum atau ke mana. Intinya apa yang menjadi tujuan utama, ya itu
targetnya. Saya pun melihat beliau yang lebih banyak aktivitas
berkamera.
di sana dapat udara segar, adem, diiringi suara gendhing atau gamelan.
“We hear this sound everytime and everywhere here.” Beliau mulai
mengenal suara-suara gendhing sejak kedatangannya di JPH karena di sana
juga ada gamelan. Jadi, siang itu kami melihat koleksi museum di
Prambanan, cukup terawat dan dalam kondisi baik. Ketika di sana, sempat
ada perbincangan kecil dengan beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang
mirip dengan Dutch language, misalnya kata “gratis” “spoor dengan sepur”
“apotek” dan beberapa kata lain. Memang ya, selalu ada sisi historis
baik budaya maupun bahasa antara Indonesia dan Belanda.
cukup lama kami berkeliling, sekaligus olahraga kaki..kami melanjutkan
perjalanan ke Malioboro. Tidak lupa siang itu “mlipir” ke masjid dekat
candi untuk menunaikan ibadah Dzuhur.