Sabtu, 8 November 2014 adalah hari kedua saya di rumah hostfam. Pagi-pagi sudah dapat pengalaman baru. Saya bangun sekitar jam 6.00, matahari sudah mulai muncul. Saya bergegas sholat Subuh, dan ternyata Gwenda, Tom, Ale maupun tetangga masih belum bangun. Kok bisa ya ? Apakah memang kebiasaan mereka ? Merekapun baru bangun sekitar jam 7. Padahal jika dibandingkan di Indonesia, jam 7 kita sudah sampai di tempat kerja atau sekolah. Pagi itu ceritanya saya mau jalan-jalan keluar rumah, saya langsung tutup pintu dari luar. Apa yang terjadi ? Saya terkunci dari luar dan tidak bisa masuk rumah. Suasana masih sepi, orang di rumah belum bangun. Tiba-tiba tetangga sebelah berna Lona mengajak mampir untuk sarapan pagi. Itu kali pertama saya makan sereal di sini. Wah, rasanya…..bisa dibayangkan ya ? Kami pun berbincang-bincang seputar Indonesia dan Australia, menyampaikan maksud kedatangan GMB di Australia. Sekitar jam 8, saya kembali ke rumah…alhamdulillah akhirnya Tom membukakan pintu. Pelajarannya : kali pertama mencoba kode kunci yang ada di depan pintu. Ternyata kuncinya ada di dalam kotak ya, dan untuk membuka kotak harus pakai kode -__-
Hari Sabtu ini saya menyebutnya sebagai masa orientasi, oke. Saya harus beradaptasi di rumah mungil ini. Rumah Gwenda ini unik, satu lantai dengan alas kayu, tembok warna putih, tidak terlalu luas, ada empat kamar, satu dapur dan satu ruang tamu. Rumah ini bersih, nyaman dengan ventilasi udara cukup, dan suasana sunyi dengan iringan burung-burung di atas bukit. Di halaman belakang ada hutan pinus, sedikit seram di waktu malam. Samping rumah ada beberapa tetangga. Depan rumah ada halaman kecil dan samping rumah ada garasi mobil. Di sini ada dua mobil, milik Tom dan Gwenda.
Hampir lupa, saya akan memperkenalkan siapa saja yang ada di rumah ini. Pertama, Gwenda Spencer, seorang wanita usia 80an yang menjadi ibu rumah ini. Gwenda adalah aktivis gereja dan turut aktif dalam menyelamatkan para pengugsi (refugees). Beliau pernah tinggal di Indonesia, bekerja di Kemenkes pada tahun 1952, pernah mengeksplorasi Jakarta, Bandung, dan Banjarmasin. Beliau wanita hebat, di usianya yang hampir 90 tahun tetap sehat dan semangat. Kebetulan, suaminya sudah meninggal. Kedua, Tom Spencer, putra dari Gwenda yang aktif dalam law constitution. Tom beberapa kali mengisi kuliah di University of Queensland, sangat komunikatif dan super sibuk. Ketiga, Alex, seorang pria kebangsaan Iran yang sejak satu tahun lalu tinggal di sini. Dia adalah pengungsi yang pernah singgah di Kendari selama 1 bulan dan akhirnya diselamatkan oleh Gwenda. Alex berusia sekitar 37 tahun dan kamarnya ada di samping kamar saya. Dia baik, selalu ramah.
Siangnya, saya diajak Gwenda untuk naik hill di belakang rumah. Wah…saya salut karena Gwenda masih punya semangat tinggi untuk berbagi, agar saya mulai mengenal lingkungan di sini. Kami naik bukit dan melihat Jacaranda (bunga berwarna ungu yang indah, asal Amerika Selatan). Kami melihat Brisbane dari atas bukit. Gwenda pun mengenalkan kalau dia juga punya kompos, terbuat dari sisa-sisa makanan (buah/sayuran) di belakang rumah, salut!
Saya juga dikenalkan bagaimana cara masak, mencuci, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Wah, bau roti sudah tercium nih…sebentar lagi pasti diajak breakfast (saat tulisan ini ditulis). Saya pun mulai mengaktifkan sim card yang kemarin dibeli, saya sedikit mengalami hambatan karena prosesnya yang agak ribet (terbilang baru).
Sorenya, Gwenda mengantar saya ke Logan Street untuk ketemu dengan mbak Yani dari PPI Australia. Saya menunggu di dekat taman, sambil melihat festival seni dalam menyambut G20. Banyak kawula muda di sini, pertunjukan unik boyband atau sekadar melihat jajanan pasar ala Brisbane. Kota yang indah, udaranya tidak begitu panas…mirip di Indonesia.
Sore itu pun saya dan mbak Yani ngobrol seputar kehidupan di Brisbane. Selanjutnya kami bertemu mas Egsa, ketua PPI Queensland University of Technology. Beberapa menit kemudian, kami bertiga menuju city dengan naik CityCat, sejenis perahu yang melintasi Brisbane River. Subhanallah, betapa indahnya kota ini. Orangnya ramah-ramah, lingkungannya bersih, nyaman untuk ditinggali. Malam ini dapat surprise, saya bisa foto dengan latar belakang Story Bridge yang legendaris itu.
Saya dan mbak Yani kemudian melanjutkan jalan ke city, melintasi gedung-gedung megah, ada gedung Casino, Brisbane City Hall tempat G20 dan beberapa spot di dekat George Street. Banyak orang lalulalang menikmati malam minggu ini. Tidak lupa, saya recharge pulsa dan beli roti untuk makan malam. Sekitar Pkl 21.00 saya pamit pulang dengan naik bus nomor 385 tujuan The Gap. Ada pengalaman berkesan ketika naik bus pakai go card. Saya tersesat ! Harusnya turun di Parkdale, tapi turun di last bus stop. Ya Allah, mana ini sudah malam, sepi. Ketika saya mencoba jalan ke arah timur, tiba-tiba bus tadi menghampiri saya dan si driver menawari tumpangan. Saya tunjukkan peta yang didapat dari Gwenda. Dia tetap belum paham, akhirnya saya turun di Hilder road setelah tadi bertemu driver kedua yang mukanya..hmm, berbeda dengan driver pertama yang ramah. Ya Rabb, ternyata saya menemukan dua orang dengan karakter berbeda. Saya belajar dari dua driver tadi. Saya salah, karena belum paham rute bis dan lupa jalan. Dari driver pertama saya belajar pentingnya ramah tamah, komunikasi, dan berbagi dalam kesempitan. Dari driver kedua, saya belajar sikap ‘dingin’ terhadap orang baru itu wajar. Akhirnya Tom menjemput saya di Hilder Road dan kami pun pulang dengan selamat. Hari yang luar biasa dengan pengalaman tersesat. Semoga cukup 1x ini.
Di samping Stadion Gabba |
GMB-OBKG |
Sore itu pun saya dan mbak Yani ngobrol seputar kehidupan di Brisbane. Selanjutnya kami bertemu mas Egsa, ketua PPI Queensland University of Technology. Beberapa menit kemudian, kami bertiga menuju city dengan naik CityCat, sejenis perahu yang melintasi Brisbane River. Subhanallah, betapa indahnya kota ini. Orangnya ramah-ramah, lingkungannya bersih, nyaman untuk ditinggali. Malam ini dapat surprise, saya bisa foto dengan latar belakang Story Bridge yang legendaris itu.
Melintasi Story Bridge di Brisbane River |
Saya dan mbak Yani kemudian melanjutkan jalan ke city, melintasi gedung-gedung megah, ada gedung Casino, Brisbane City Hall tempat G20 dan beberapa spot di dekat George Street. Banyak orang lalulalang menikmati malam minggu ini. Tidak lupa, saya recharge pulsa dan beli roti untuk makan malam. Sekitar Pkl 21.00 saya pamit pulang dengan naik bus nomor 385 tujuan The Gap. Ada pengalaman berkesan ketika naik bus pakai go card. Saya tersesat ! Harusnya turun di Parkdale, tapi turun di last bus stop. Ya Allah, mana ini sudah malam, sepi. Ketika saya mencoba jalan ke arah timur, tiba-tiba bus tadi menghampiri saya dan si driver menawari tumpangan. Saya tunjukkan peta yang didapat dari Gwenda. Dia tetap belum paham, akhirnya saya turun di Hilder road setelah tadi bertemu driver kedua yang mukanya..hmm, berbeda dengan driver pertama yang ramah. Ya Rabb, ternyata saya menemukan dua orang dengan karakter berbeda. Saya belajar dari dua driver tadi. Saya salah, karena belum paham rute bis dan lupa jalan. Dari driver pertama saya belajar pentingnya ramah tamah, komunikasi, dan berbagi dalam kesempitan. Dari driver kedua, saya belajar sikap ‘dingin’ terhadap orang baru itu wajar. Akhirnya Tom menjemput saya di Hilder Road dan kami pun pulang dengan selamat. Hari yang luar biasa dengan pengalaman tersesat. Semoga cukup 1x ini.