Kini ku terpasung dalam sebuah tekanan
yang tersayat merah
karya Rohmad Dwi Saputro)
adalah satu dari beberapa notes yang berasal dari sahabat saya, namanya Rohmad
Dwi Saputro. Saya dan teman-teman akrab memanggilnya dengan Mas Rohmad. Mas
Rohmad adalah sahabat baru saya sejak kuliah di Jurusan Pendidikan Geografi,
Universitas Negeri Yogyakarta. Dia lahir di Bantul, 31 Oktober 1991. Dia saat
ini tinggal di daerah Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul.
Kisah hidup Mas Rohmad
mungkin agak mirip dengan Bill Porter. Kawan-kawan pernah menonton film true
story berjudul ‘Door to door’ ? Kisah nyata dari Bill Porter sangat menyentuh
karena keterbatasannya sebagai penderita Cerebral Palsy atau Layuh Otak. Bill
Porter, hampir tidak bisa menggerakan tangan kananya. Ahli medis menduga ia
mengalami keterbelakangan mental dan menyarankan kepada orangtuanya untuk
memasukkannya ke dalam rumah sakit mental. Orang tuanya menolak dan mendorong
Bill untuk hidup mandiri hingga menyelesaikan sekolah menengah. Bill
berkali-kali mengalami penolakan dari perusahaan tempat dia melamar. Hampir
tidak pernah lebih dari 7 hari bekerja, Bill dinyatakan tidak dapat
dipekerjakan. Bill bersikeras tidak ingin mendapat tunjangan dari pemerintah
sebagai orang tidak mampu. Akhirnya Bill mendapatkan kesempatan bekerja untuk
Watkins-perusahaan di US setelah berhasil meyakinkan sang direktur. Bill
menjual produk rumah tangga dari pintu ke pintu di sebuah wilayah yang hampir
tidak ada orang mau membelinya. Pada akhirnya Bill memutuskan bidang penjualan
adalah karirnya. Kegigihan Bill dalam bekerja di Watkins Company membuktikan
bahwa difabilitas bukan halangan untuknya. Dia mampu menaklukan wilayah
tersebut dan mendapat pelanggan. Bill bekerja hingga usia 70 tahun di
perusahaan Watskin dan mendapat julukan “The Watskin Man”, dan pernah mendapat
kesempatan menjual barang-barang rumah tangga untuk mengumpulkan dana bagi
United Cerebral Palsy. Seperti Bill Porter, Mas Rohmad adalah seorang mahasiswa
yang hidup dalam garis keterbatasan. Difabilitasnya sebagai penyandang tunadaksa
membuatnya harus bersabar dalam menghadapi kerasnya hidup.
ini tergolong dalam kelompok minoritas. Ya, menjadi manusia dalam garis yang seakan berbeda dengan orang-orang
di luar garis. Sebuah kehidupan yang menanggung rasa berkecil hati karena
berbeda dengan yang lainnya. Ya menjadi kaum difabel, kaum yang mempunyai
kemampuan berbeda, kaum yang sulit untuk dipercaya kaum dan terlupakan bahkan
kadang dihina. Mas Rohmad hanya mampu menghela nafas. Dia menjadi seperti ini tidak sejak kecil
melainkan sejak kelas enam dimulai dari sebuah luka yang dokter menfonis itu
sebagai akibat dari infeksi otak bagian kanan sehingga organ bagian kirinya
tidak bebas digunakan. Seakan berat menghadapi hidup yang seperti ini, bahkan
waktu SMP Mas Rohmad sempat dihina dan dikerjain sama temannya, dan Mas Rohmad
hanya dapat terdiam dan menangis, namun tidak di depan teman-teman.
hidup ini walau dalam belenggu derita. Akhirnya, berlahan
lahan es itu pun mulai mencair di
hatinya, terasa indah hidup ini setelah ia lewati masa SMA yang penuh dengan
kenangan indah bersama teman-teman yang mau menghargai dan menyayanginya, yang
tak mungkin ia sebut nama mereka satu
persatu.
mulai saya sadari bahwa ada sesuatu yang luar biasa di dalam dirinya, seiring perjalanan saya di perkuliahan bersama. Saya lihat mas Rohmad
adalah sosok yang pintar, kritis, dan sama dengan mahasiswa pada umumnya.
Jiwanya yang tegar dalam menjalani hidup adalah sebuah nyawa untuknya. Saya pun
merasa malu, ketika saya yang diberikan kesehatan utuh oleh Allah tidak bisa
bersemangat menikmati hidup seperti Mas Rohmad. Sahabat saya ini mempunyai moto
“Hidup adalah Anugerah” yang patut kita teladani. Banyak bersyukur ketika Tuhan
memberikan segala nikmatnya. Banyak bersyukur ketika masih ada orang lain yang
peduli dengan kita.
Kehangatan
yang kami rangkai dalam persahabatan ini adalah semata-mata rasa hormat kita
sebagai sesama manusia. Saya, Mas Rohmad, dan kawan-kawan mahasiswa lainnya
berhak untuk menjadi seorang yang berguna bagi orang lain, termasuk menjadi
pendidik. Berikut adalah penggalan kata-kata dari Mas Rohmad yang tertulis
dalam biodata kelas saya.
dunia mencari arti hidup. Menangis di
tengah malam. Bangun di pagi hari untuk melihat bintang. Berlari mencari cinta
untuk melengkapi hidup ini.Bintang bersinar bukan untuk dirinya sendiri namun
untuk seorang anak yang takut akan kegelapan,d an kini dia meneteskan air mata
mencari teman, bermimpi akan adanya teman untuk menemaninya di setiap waktu.
Mencari sesuatu yg luar biasa. Bermimpi menjadi sesuatu yang berarti. Hidup yang
kadang ada suka dan kadang ada duka, tak dapat aku katakan apapun tentang hidup
ini kecuali “Teruskan perjalanan hidup ini. Pencarian jati diri yg harus menempuh
berbagai rintangan dan aku tidak mau meminta sampai mengemis, aku bukan orang yang
lemah. Oke cukup ya, thanks atas persahabatannya.”
saya banyak belajar dari keteladanan Mas Rohmad yang meski dalam keterbatasan
fisik tetapi mempunyai cita-cita yang tinggi sebagai ahli BMKG, sebuah
pengabdian yang sangat luar biasa. Saya bersama kawan-kawan tentunya selalu
mendoakan apa yang terbaik untuknya.
3 Comments. Leave new
Bagus, menyentuh dan mempunyai pesan positif! 🙂
keren jan, pernah nonton filmnya yg versi jepang. luar biasa usahanya. salut juga buat mas rohmad 😀 moga2 tercapai cita2nya. so inspired 🙂
terimakasih teman-teman, mas Rohmad kini selalu semangat kuliah lho, ayo kita contoh 🙂