Masalah indigeneousasi (mempribumikan) ilmu sosial sebenarnya merupakan masalah klasik bagi perwajahan pendidikan di Indonesia, tetapi usaha untuk mengatasinya masih kurang begitu serius. Berbagai upaya telah dilakukan oleh para ilmuwan sosial, ahli sosial, ataupun sivitas akademika yang berkecimpung pada ranah pendidikan ilmu sosial.
Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Yogyakarta telah berupaya mengadakan berbagai diskusi ilmiah dalam upaya indigeneousasi ilmu sosial ini, salah satu bentuk kegiatannya adalah seminar nasional dalam rangka Dies Natalis UNY ke-48 (6 windu) pada hari Senin 30 April 2012.

Seminar nasional bertemakan “Indigenousasi Ilmu Sosial dan Implementasinya dalam Pendidikan Ilmu Sosial di Indonesia” ini menghadirkan keynote speaker Prof. Syed Farid Alatas dari National University of Singapore dan beberapa pembicara lainnya seperti Purwo Santoso, Ph.D (Fisipol UGM), Prof. Zamroni, Ph.D (UNY), Nasiwan, M.Si (FIS UNY), dan beberapa pemakalah. Seminar ini secara resmi dibuka oleh rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd, M.A. bertempat di Auditorium UNY.
Dalam pemaparannya, Syed Farid Alatas menyampaikan makalah dengan judul Orientalisme dalam Pengkajian Sejarah Alam Melayu yang dilatarbelakangi adanya ketidakcocokan antara ilmu-ilmu kemasyarakatan bangsa Barat dengan kenyataan sosial di dunia Melayu pada abad 19. Menurut dosen Universitas Nasional Singapura ini, masalah ketidaksesuaian ini berkaitan dengan suatu orientasi yang dinamakan Orientalisme yang berlanjut menguasai pengkajian Melayu-Indonesia. Pada umumnya, ilmu-ilmu kemasyarakatan zaman sekarang atau ilmu sosial telah mengatasi masalah ini. Tetapi, tempat orientalisme yang lama telah diambil alih oleh Orientalisme baru, yaitu orientalisme yang bukan dari bangsa Barat.
Hal senada juga disampaikan oleh dosen Fisipol UGM, Purwo Santoso, Ph.D. Menurutnya, point penting yang harus didapat dalam seminar ini adalah bahwa di satu sisi ilmuwan Indonesia tidak menjadi penghasil teori-teori yang diajarkan kepada mahasiswa. Di sisi lain, pengajaran teori-teori sosial itupun tidak cukup jauh dikaitkan dengan konteks Indonesia. Sebagai contoh adanya penerapan konsep good governance sebenarnya itu adalah penjabaran dari gagasan pemerintah liberal ketika mengukur kadar aktualisasi penerapannya yang tidak terlaksana maksimal. Muaranya cukup tragis, Indonesia adalah lokasi untuk memberlakukan berbagai preskrisi teoretis ilmu sosial yang dibuat oleh ilmuwan asing.
Seminar yang terlaksana dengan ratusan peserta, baik dari mahasiswa, dosen, guru, atau masyarakat umum dari berbagai penjuru tanah air ini juga menghadirkan pakar politik dari lingkungan kampus UNY yaitu Prof. Zamroni, Ph.D dan Nasiwan, M.Si sebagai penggagas Fistrans Institute. Menurut kedua narasumber ini, model pembelajaran ilmu sosial di kelas-kelas sekolah dasar ataupun menengah Indonesia masih belum mencerminkan indigeneousasi ilmu sosial. Artinya, para pendidik masih mengajarkan apa, mengapa, dan bagaimana masyarakat Barat berperilaku. Sebaliknya, sama sekali tidak pernah mengkaji apa, mengapa, dan bagaimana masyarakat Indonesia sendiri berperilaku sesuai local wisdom kita. Sadar atau tidak, lambat laun paham ilmu sosial Barat ini telah diaplikasikan ke dalam kehidupan masyarakat kita.
Dengan demikian, kajian indigenousasi sosial science ini mempunyai beberapa langkah ke depan dalam mereorientasikan pembelajaran ilmu sosial yang berwajah Indonesia. Pembelajaran ilmu sosial di jenjang perguruan tinggi Indonesia perlu membangun tradisi baru, yaitu menanamkan good citizenship dengan titik berat pada pengembangan nilai-nilai dan tradisi bangsa seperti cinta tanah air, kerja keras, bertanggung jawab, dan jujur. Kedua, mengembangkan keterampilan pada diri siswa untuk melakukan pengamatan, pengumpulan data, dan penguasaan teori sosial. Ketiga, mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan melakukan inovasi terhadap disiplin ilmu sosial dan praktik-praktiknya di Indonesia. Keempat, menanamkan sikap positif dan self concept pada diri mahasiswa bahwa Indonesia mempunyai ciri khas ilmu sosial yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945.
Pada akhirnya, antusias peserta seminar berakhir hingga diskusi panel sekitar pukul 16.00. Sebagian besar peserta telah terbuka mata bahwa indigeneousasi ilmu sosial (mempribumikan ilmu sosial) sudah seharusnya dilaksanakan agar kita tidak hanya sebagai konsumen setia produk ilmu sosial olahan bangsa Barat dengan segala positif negatifnya. Kalau bukan dari masyarakat sendiri yang menemukan teori serta melaksanakannya, mau dari mana lagi ?
Penulis :
Janu Muhammad
Mahasiswa Semester 2 Pendidikan Geografi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
E-mail/Hp : janu.muhammad2@gmail.com