Setiap hunian membutuhkan listrik.
Tanpanya, hidup akan menjadi gelap. Dulu ketika belum ada listrik, manusia
masih bisa bertahan. Sekarang, aktivitas setiap orang nyatanya tergantung pada
listrik. Bayangkan jika rumah kita belum dialiri listrik, pasti serba sulit di
setiap kegiatan.
Pertengahan Maret 2021 kami pindahan
ke rumah baru. Sebelum ditempati, aku memastikan aliran listrik PLN sudah
terpasang, dengan daya 900 watt. Selang beberapa hari ketika kami tinggal di
sini, beberapa kali terjadi pemadaman listrik. Setidaknya satu bulan sekali.
Meski tidak sering, sebagai pengguna PLN pasti merasa dirugikan. Alasannya selalu
‘sedang dilakukan perbaikan’. Lebih kecewanya kalau saat pemadaman, aku baru
memerlukan listrik untuk kegiatan esensial di dalam rumah, mengajar atau
mengisi webinar. Lama-lama jadi geram kan?
“Mas, kok listriknya padam lagi?”
tanya istriku. “Ya mungkin lagi diperbaiki oleh PLN”, jawabku. Malam itu di kampung
kami gelap gulita. Selang beberapa saat kemudian, ada saudara kami sedang
update status WhatsApp. Unggahan video itu menunjukkan sedang terjadi konsleting
listrik. Sampai-sampai ada percikan listrik di kabel-kabel. Para warga
berteriak, khawatir ada korban jiwa. Apalagi malam itu agak gerimis. Karena
kejadian itu, suasana di luar pun menegang.
Aku jadi berpikir, kalua saja listrik
di rumah kami punya dua nyawa. Satu dari PLN, satunya lagi ada sejenis power
bank yang menyimpan daya listrik dan bisa difungsikan sewaktu-waktu. Kalau punya
seperti itu kan jadi tidak repot lagi, benar kan? Ini baru pengalaman
pribadiku. Coba amsal lainnya, seperti saat Jakarta dan sebagian daerah di
Pulau Jawa padam yang diduga hanya karena pohon tumbang dan mengenai saluran
listrik PLN. Dampaknya tidak hanya sesaat, tapi sampai berhari-hari.
Saat aku tinggal di kota Rotterdam,
kujumpai banyak kincir angin dan turbin air yang masih terawat. Di sana,
masyarakat tidak khawatir kehabisan stok listrik karena mereka punya cadangan.
Dari sel surya, dari kincir angin, atau dari kanal-kanal. Ibaratnya, air di
sana adalah musuh bebuyuta pada masa lampau. Berkat inovasi, kini air memberikan
mereka kebaikan sebagai pembangkit energi alternatif. Belum lagi, ketika aku ke
India, Jerman, atau Inggris. Di beberapa gedung bertingkat atau atap rumah,
sering kujumpai deretan panel surya.
Tiba-tiba malam itu aku teringat Pak
Ahab, seorang warga di Desa Paliyan, Gunungkidul. Pak Ahab adalah pelopor listrik
dari panel surya. Pengalamanku bertemu beliau secara langsung dan diajak
keliling kampung energi surya rasanya tetap melekat. Bermula karena kejadian
gempa di Jogja tahun 2006, saat itu Pak Ahab dan warga kesulitan mencari aliran
listrik. Sampai akhirnya terpikir untuk membuat rangkaian panel surya
sederhana. Buah manisnya, listrik di kampung mereka sampai kini selalu menyala.
Meski desa sebelah terjadi pemadaman, kampung Pak Ahab tetap berpijar dengan
panel surya.
Dari negara India dan Jerman, kita
bisa belajar akan pentingnya energi
alternatif dari sinar matahari. Dari Belanda, kita belajar manfaat angin dan
air sebagai pengganti energi fosil. Dari kisah Pak Ahab, ada semangat
kebersamaan untuk memanfaatkan matahari sebagai penghasil energi.
Aku yakin, masih banyak orang di luar
sana yang kesulitan mendapatkan listrik. Listrik selama ini berasal dari energi
fosil yaitu batu bara. Karena dibakar, jelas tidak ramah lingkungan. Efeknya beragam,
dari meningkatnya emisi karbon sampai terancamnya masa depan dunia. Kita perlu
energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Aku membayangkan, pada 2050 nanti, setiap
rumah tangga di Indonesia mampu memproduksi energi alternatif secara mandiri,
terutama dari panel surya. Dengan kondisi geografis yang ada serta iklim tropis
sepanjang tahun, Indonesia adalah rumah untuk energi surya.
Hasil riset yang dilakukan oleh
Institute for Essential Services Reform (IESR) makin menguatkan keyakinanku. IESR
menyatakan, potensi sel surya di Indonesia sebesar 207 Gigawatt atau 95 kali
lebih besar jika dibandingkan estimas dari Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Perbedaan angka yang fantastis, bukan?
Padahal, Indonesia melalui Kebijakan
Energi Nasional telah berkomitmen untuk meningkatkan bauran energi alternatif. Target
itu dipatok hingga 23% untuk tahun 2025 dan setidaknya 31% pada tahun 2050. Lebih
lanjut, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2017, proyek instalasi
energi ditargetkan hingga 45 gigawatt (GW) atau sekitar 33% untuk tahun 2025.
Dari 45 GW itu, 6,5 GW ditargetkan berasal dari energi surya pada tahun 2025. Sayangnya,
temuan IESR mengejutkan bahwa instalasi PV hanya mencapai 181,2 MW (IESR,
2021).
IESR juga merilis hasil pemetaan
potensi energi surya di Indonesia dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis
(SIG). Berikut adalah table ringkasannya:
Skenario |
Area (km2) |
Potensi Teknis Energi Surya (PV) |
|
Kapasitas (GWp_ |
Generasi |
||
Skenario 1 (area |
484.455 (24,43%) |
19.835 |
26.972 |
Skenario 2 (skenario 1 |
187.806 (9,85%) |
7700 |
10.508 |
Skenario 3 (S2 ditambah |
153.915 (8,07%) |
6.310 |
8.541 |
Skenario 4 (S2 sambil |
82.847 (4,34%) |
3,397 |
4.705 |
Mengapa energi surya? Yang pertama
jelas, sinar matahari tersedia secara bebas dan melimpah. Dengan kondisi Indonesia
sebagai negara tropis, maka sinar matahari mengalir sepanjang tahun. Kedua,
energi surya adalah energi yang ramah lingkungan. Sel surya tidak memancarkan emisi
karbon berbahaya yang dapat memicu perubahan iklim global.
Manfaat lainnya adalah efisiensi
biaya. Memang, ketika awal pemasangan sel surya akan memerlukan modal tidak
sedikit. Tidak perlu khawatir, kawan. Beban biaya hanya terasa di awal,
selanjutnya tinggal menikmati energi gratis yang dikonversi menjadi aliran
listrik. Berbeda dengan energi turbin air, panel surya tidak menyebabkan polusi
suara.
Secara bertahap, asa Indonesia untuk
memiliki sejuta panel surya bisa dicapai. Pada usianya yang sudah 1 abad nanti,
aku memimpikan setiap provinsi setidaknya memiliki 30.000 panel surya. Panel
surya tersebut dapat berasal dari rumah tangga, perusahaan, fasilitas umum atau
gedung pemerintah. Kita belajar dari provinsi Jawa Tengah yang sejak 2019
menjadi Provinsi Solar. Sebanyak 575 unit panel surya telah terpasang di
rumah-rumah warga, 21 unit PLTS Komunal, dan yang terbanyak adalah 8160 unit
penerangan jalan umum tenaga surya. Jawa Tengah, setidaknya sudah memiliki 8.756
unit.
Beberapa Langkah berikut menurutku
perlu dilakukan agar makin banyak masyarakat yang sadar pemanfaatan panel
surya:
Pertama, berikan edukasi melalui
sosialisasi. Untuk menyasar tahun 2040, misalnya. Segmen milenial perlu
diberikan edukasi, melalui konten kekinian. Tentunya, adanya edukasi diharapkan
dapat membuka hati masyarakat untuk menggunakan energi terbarukan. Kedua,
berikan subsidi pendanaan untuk biaya awal instalasi. Ini hal paling penting,
mengingat mindset yang ada di masyarakat adalah ‘biaya mahal’ dari PLTS.
Pemerintah setempat dalam hal ini
juga dapat menggandeng Lembaga keuangan untuk menjadi sponsor. Ketiga,
pelibatan karangtaruna dan Lembaga kemasyarakatan untuk pengembangan panel
surya di rumah-rumah. Seperti kisah Pak Ahab, regenerasi penggerak di daerah
sasaran amat penting. Terakhir, berikan apresiasi, terhadap mereka yang secara
konsisten menerapkan pemasangan PLTS di lingkungannya. Apresiasi ini dapat
berupa pendanaan atau sejenisnya. Tujuannya, agar makin banyak orang
menggunakan PLTS.
Menurutku, pemerintah provinsi Jawa
Tengah bisa menjadi referensi untuk provinsi lainnya. Ada komitmen dari level
atas yang diturunkan ke warga. Menurutku ini lebih efisien, karena secara
kebijakan sudah jelas dan tinggal ada tim eksekusi di lapangan.
Melibatkan generasi Z juga dirasa
perlu demi terwujudnya sejuta panel surya pada tahun 2050. Generasi Z yang kaya
akan rasa ingin tahu, berteknologi tinggi, dan skillful, dapat dirangkul dengan
komunitas PLTS warrior, misalnya. Jadikan mereka sebagai agen-agen pejuang
PLTS, kolaborasi lintas komunitas energi terbarukan, serta sector swasta.
Hingga pada akhirnya, mimpi Indonesia
sebagai nageri sejuta panel surya sangat mungkin tercapai. Aku membayangkan di
tahun 2050, penggunaan energi alternatif semakin membudaya, masyarakat lebih
bijak menggunakan energi. Yang tidak kalah penting, kian banyak generasi muda
yang peduli dengan masa depan bumi ini. Semua dimulai dari diri sendiri.
Ujungnya, kita dapat mencegah pemanasan global. Bersama panel surya, kita
wujudkan Indonesia yang lebih sejahtera.
Jumlah kata: 1197
Referensi :
IESR (2021). Beyond 207 Gigawatts: Unleashing
Indonesia’s Solar Potential. Institute for Essential Services Reform.
IESR. 2021. Central Java Solar Day. https://iesr.or.id/agenda-iesr/central-java-solar-day-2021.
Diakses 27 Agustus 2021.
Kementerian ESDM. 2020. Buku rencana Strategis.
Jakarta: ESDM.